Widya dan Wahyu Sempat Makan Kepala Monyet Saat Hendak Kembali ke KKN di Desa Penari, Mengapa Bisa?

22 Mei 2022, 12:02 WIB
Widya dan Wahyu Sempat Makan Kepala Monyet Saat Hendak Kembali ke KKN di Desa Penari, Mengapa Bisa? Berikut Cerita Lengkapnya! /@kknmovie

UTARA TIMES Film KKN di Desa Penari sudah menembus lebih dari 7 juta penonton sejak ditayangkan pada tanggal 30 April 2022 lalu.

Menceritakan tentang kisah 6 mahasiswa yang KKN, KKN di Ayu, Nur, Widya, Bima, Wahyu, dan Anton mengalami rentetan kisah menyeramkan selama KKN.

Salah satu kisah paling menyeramkan adalah ketika Widya dan Wahyu makan kepala monyet saat mereka sedang kembali menuju ke desa tempat mereka KKN.

Baik Wahyu dan Widya sudah diperingatkan untuk jangan terlalu malam kembali ke desa. Namun, karena suatu hal, mereka akhirnya harus kembali menjelang maghrib ke desa KKN.

Baca Juga: Begini Kondisi Nyata Ayu Setelah Bersekutu untuk Dapatkan Cinta Bima dalam Kisah Asli KKN di Desa Penari

Naas, mereka berdua mengalami hal mistis yang mengerikan. Berikut adalah cerita lengkapnya :

Waktu itu siang hari, Widya sedang mengerjakan prokernya yang sudah tertunda beberapa hari, Wayu mendekati Widya, ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa sementara karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus di beli di kota.

“Melu mboten?” (ikut gak?)

“Adoh gak?” (jauh gak?)

“2 jam” kata Wahyu, “aku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor’e” (aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjem motornya)

“Nggih pon, melu” (ya sudah, ikut)

Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota, karena sesaat sebelum meminta ijin, pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang, saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang di telusuri untuk masuk ke hutan ini.

Baca Juga: Kumpulan Ucapan Hari Kenaikan Isa Al Masih dalam Teks Bahasa Inggris Cocok Untuk Teman dan Kerabat

Dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan,

“Gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero’ne Alas le” (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal didalam hutan nak). Mereka berangkat, menembus jalan setapak, lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh, sampai akhirnya mereka tiba di kota B, disana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.

Kurang lebih setelah 2 jam, mencari kesana kemari dan setelah mendapatkanya, mereka langsung cepat kembali.

Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain. Jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore,

Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok, ketika Wahyu sampai disana, ia membeli beberapa cilok, untuk Widya dan dirinya sendiri, saat itulah, si penjual cilok, melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.

“Mas nya pendatang?” kata orang asing itu.

“Mboten pak” “Kulo KKN ten mriki” (tidak pak, saya hanya KKN disini)

“Tetep ae, wong joboh to” (tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.

“Nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?”

Baca Juga: Tanggalan Jawa Harian Minggu, 22 Mei 2022: Pasaran Hari, Wuku, Sifat, Hari Baik dan Buruk dari Weton

Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual.

“Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D*********??” (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********??)

“Nggih pak” (iya pak)

“Loh loh, halah dalah” “wes yangmene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yangmene, jarang onok sing liwat” (sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat) kata si bapak

“Mboten pak, kulo bablas mawon” (tidak pak, saya lanjut saja) kata Wahyu,

“Ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu’ne sampeyan??” (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)

Si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.

“Nggih pak” kata Wahyu.

Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas ***********

“Ngeten mas” (begini mas) “engken, bade sampun mlebet nang Alas’e sampeyan mlaku ae teros”

(nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutanya, jalan saja ya terus)

“Ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas”(gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)

“Ojok lali, moco dungo’e sing katah”(jangan lupa doanya yg banyak)

(Sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud’e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe di gawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah di urus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih” (yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja)

(jika sampai kalian di bikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti disana, yang penting tidak usah di perdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan)

Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.

“Kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang tujuan”(saya doakan kalian selamat sampai tujuan)

Tepat ketika langit sudah kemerahan, mereka melanjutkan perjalanan, di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu saja. tidak pernah di sangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.

Cahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakan, hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak di temui satupun pengendara lain disini

Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini sementara belum di temui satupun pengendara yang lewat, Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian Wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja.

Motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu. Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala Doa bisa saja di kabulkan sewaktu2

“Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu” (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu) kata Wahyu, sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata “Goblok” keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini.

Baca Juga: Ini Daftar Pemain Film Ranah 3 Warna Lengkap Perannya: Ada Arbani Yasiz dan Amanda Rawles

Sembari mencoba menstarter motor, entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum di temui satupun pengendara yang di mintai pertolongan, Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian didepan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat.

Sampai, langkah kakinya berhenti. Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. pasti.

“Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau” (kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku dari tadi sudah capek dorong motor dari tadi)

Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain, “Yu, krungu ora?? suara mantenan??” (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)

Bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.

“Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae” (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja) seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan.

Baca Juga: Ini Daftar Pemain Film Ranah 3 Warna Lengkap Perannya: Ada Arbani Yasiz dan Amanda Rawles

Semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, di iringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan, sampai, di lihatnya, terdapat jenur kuning melengkung.

Di sana, Widya melihatnya, sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan, disana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik di dendangkan.

Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.

“Nopo le” (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus, “sepeda’e mblodok?” (motornya mogok?)

Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah. Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda, menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya di betulkan.

Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri2 ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang di tabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.

“Aku ra eroh nek onok kampung nang kene?” (aku tidak tau ada kampung disini?)

Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung, di depan penabuh gamelan masih ada ruang, acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu. Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab, dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya.

Diikuti serombongan orang, dihadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung, kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung, semua mata, seperti terhipnotis melihatnya

“Ayu’ne curr!!”(cantik sekali anj*ng!!) kata Wahyu

Bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka

Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapanya, sembari bercakap-cakap sama si bapak tua, namun Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.

Setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa di naikin lagi, benar saja.

Motor mereka sudah bisa di pakai lagi, sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan,

Si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya, itu adalah jajanan yang di hidangkan tadi, membungkusnya dengan koran, Widya menerimanya, mengucap terimakasih lagi, lalu lanjut pergi.

Tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari, kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikanya terlihat begitu sulit di gambarkan.

Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak di temui satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.

Namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun, jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor.

Satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, desa KKN mereka sudah semakin dekat.

Sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah ditunggu oleh semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.

“Tekan ndi seh?? kok suwe’ne” (darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu,

“Tekan kota, belonjo keperluan kene” (dari kota, belanja keperluan kita)

Nur membuang muka melihat Widya, sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu, sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.

Di suasana tegang itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana, “Wes ta lah, kok kaku ngene seh”(sudahlah, kok canggung gini)

Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah, “Awakmu pegel kan” (kamu pasti capek kan).

Tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah, tanpa membuang2 waktu, alih-alih ia istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung, tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui, kecantikanya, ia ceritakan semua

Bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingungan lah yang pertama Wahyu lihat.

“Ra onok deso maneh nang kene” (tidak ada desa lagi disini) kata Bima, Wahyu yang mendengar itu tidak terima.

“Eroh tekan ndi awakmu” (tau darimana kamu)

“Aku wes sering nang kota yu,” (aku sudah sering ke Kota Yu) “Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong-kene” (Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini) “Sampe sak iki, aku rong eroh onok deso maneh nang kene” (sampai sekarang, aku belum nemuin satu lagi kampung di dekat sini)

“Ngomong opo, mbujuk” (bicara apa, nipu) kata Wahyu geram.

“Mas” kata Nur, “pancen ra onok deso maneh nang kene, kan wes tau dibahas” (Mas, memang gak ada lagi desa disini, kan sudah pernah di bahas dulu)

“Koen kabeh nek ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane” (kalian kalau gak percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)

Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba di tarik oleh Wahyu. “Takono ambek Widya nek ra percoyo”

(tanya sama Widya kalau tidak percaya)

Widya masih diam, lama, sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.

Sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis. Karena tidak sabar, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi yang Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu.

Tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu. Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.

Demikianlah sepenggal kisah mengenai bagaimana Widya dan Wahyu bisa memakan kepala monyet dalam KKN di Desa Penari. ***

 

Editor: Anas Bukhori

Tags

Terkini

Terpopuler