Ternyata Ini Kesalahan Terbesar Bima dan Ayu Asli Sebelum Meninggal dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari

23 Mei 2022, 03:05 WIB
Kesalahan terbesar yang diperbuat Bima dan Ayu asli sebelum meninggal dalam kisah nyata KKN di Desa Penari SimpleMan /

UTARA TIMES – Berikut ulasan tentang kesalahan terbesar Bima dan Ayu asli sebelum meninggal dalam kisah nyata KKN di Desa Penari.

Pada praktiknya kesalahan terbesar Bima dan Ayu asli sebelum meninggal telah diungkap oleh SimpleMan dalam kisah nyata KKN di Desa Penari.

Dalam kisah nyata KKN di Desa Penari yang diposting di Twitter SimpleMan pada 2019 lalu, kesalahan terbesar yang dilakukan Bima dan Ayu asli itulah awal mula dari melapetaka yang menimpa mereka.

Terlebih kesalahan terbesar yang dilakukan Bima dan Ayu asli dalam kisah nyata KKN di Desa Penari sebelum mereka meninggal merupakan kesalahan fatal yang bisa berakibat buruk pada semuanya.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Penyebab Widya Asli Diincar Badarawuhi untuk Jadi Dawuh dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari

Inilah kesalahan terbesar Bima dan Ayu yang telah bersekutu dengan Badarawuhi hingga melakukan hubungan terlarang dalam kisah nyata KKN di Desa Penari sebagaimana dikutip Utara Times dari potongan thread Twitter SimpleMan 2019.

Kisah Nyata KKN di Desa Penari versi Nur

Thread Twitter SimpleMan (2019)

, Nur tersentak oleh sebuah suara Familiar yang memanggil namanya, ketika Nur berbalik menatap sesiapa yang baru saja memanggilnya, Nur mematung melihat Ayu, berdiri dengan muka tercengang, dari belakang, muncul Bima, tidak kalah tercengang

suasana menjadi sangat canggung

"yu, Bim? kok nang kene?" (yu, bim, kok kalian ada disini?)

Ayu dan Bima hanya mematung, tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali, hal itu, membuat Nur mendekati mereka, melewatinya dan kemudian ia melihat ada sebuah gubuk di belakang bangunan ini.

Nur berbalik, ia kecewa

"Bim, abah karo umi nek eroh kelakukanmu yo opo yo, sebagai konco, aku gak nyongko loh Bim" (Bim, Abah sama Umi kalau tahu perbuatanmu gimana ya, sebagai temamu lama, aku tidak menyangka hal ini sama sekali)

Bima hanya diam, Ayu, apalagi.

"Nur, tolong" ucap Ayu, menyentuh lengan Nur,

"aku gak ngomong mbek koen yu, aku ngomong karo Bima" (aku gak bicara sama kamu yu, aku mau bicara sama Bima)

tatapan Nur membuat Ayu beringsut mundur, Bima masih diam, sebelum Nur akhirnya menggampar tepat di pipinya Bima.

"wes ping piro?" (sudah berapa kali?) tanya Nur.

"pindo'ne" (kedua kalinya)

Nur tidak tahu harus berucap apa, "sek ta lah, opo sing jare Anton nek krungu suara cah wadon gok kamarmu iku koen ambek Ayu!!" (tunggu, ini artinya, apa yang dikatakan Anton soal dia dengar suara perempuan di kamarmu itu kamu sama ayu!!)

namun, Bima menatap wajah Nur dengan kaget, tidak hanya itu, Ayu juga terperangah tidak percaya, kemudian menatap Bima dengan sengit, seakan Nur salah bicara.

"maksude Nur?" (maksudnya Nur?!) tanya Ayu kaget.

"Bim, ojok ngomong awakmu!!" (Bim jangan bilang kamu!!)

"wes wes, ayo mbalik, engkok tak ceritakno kabeh, tulung, ojok ngomong sopo sopo dilek yo Nur" (sudah, ayo kembali dulu, nanti tak ceritakan semua, tolong jangan ngomong ke siapa2 dulu, ya Nur)

Nur, Ayu dan Bima pergi.

Baca Juga: Begini Janji Bima yang Akan Menikahi Ayu Asli dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari Versi Nur

wajah Bima tegang, seakan-ia di kejar sesuatu, hingga akhirnya ia keluar dari tempat itu, langit sudah gelap gulita, dan Nur, merasa ada yang mengikuti mereka semua.

setelah sampai di rumah, Nur meminta Bima dan Ayu berkumpul di belakang rumah, sementara Anton menyesap rokok di teras, sedangkan Wahyu dan Widya, belum juga pulang, mereka tidak tahu masalah ini, karena Nur merasa hal ini memang tidak seharusnya di ketahui semua orang.

"sak iki ceritakno kok iso'ne kanca KKN dewe loh di garap ngene" (sekarang ceritakan, saya mau dengar, kok bisa ya, teman KKN di hajar seperti ini) kata Nur, Ayu masih diam, ia memikirkan ucapan Nur yang tadi, Bima mulai berbicara.

"khilaf aku Nur" kata Bima, seakan apa yang di ucapkan dari mulutnya terdengar sepele,

"gak isok nek ngunu, bakal tak gawe rame masalah iki ambek keluargamu, lanang iku kudu wani tanggung jawab ambek perbuatane" (tidak bisa seperti itu, akan ku buat ramai nanti sama keluargamu-

laki-laki harus berani bertanggung jawab atas perbuatanya)

Ayu yang sedari tadi diam, kemudian bicara. "Nur, tolong, ojok di gawe rame disek, yo opo engkok reaksine warga, pak prabu, utowo arek2" (Nur, tolong, jangan di buat ramai dulu, gimana coba reaksi semua orang) ucap Ayu

"aku bakal tanggung jawab Nur, muleh tekan kene, Ayu bakal tak rabi Nur" (aku akan tanggung jawab, Ayu akan saya nikahi habis pulang darisini)

"goblok ya wong loro iki, dipikir masalah iki mek masalah mu tok tah, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir liane, gak mikir-

-jeneng kampusmu, gak mikir keluargamu, gak mikir agamamu, nek ngomong mu mek ngunu, penak yo, kari rabi tok, gak iling opo iku karma yo"

(goblok ya kalian, di kira ini masalah sepele, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir yang lain, gak mikir nama kampusmu, gak mikir-

keluargamu, kalau memang cuma masalah pernikahan ya enak ya, tapi kalian lupa dengan yang namanya karma tabur tuai)

Ayu yang mendengar itu perlahan sesenggukan, Nur tahu, ia menangis, namun Bima, ia seperti menyembunyikan sesuatu. ada yang belum ia jelaskan sama sekali.

Anton tiba-tiba muncul sembari mengatakan, "cah loro iku wes teko, mboh tekan ndi, mosok moleh sampe bengi ngene" (itu loh, dua temanmu sudah datang, entah darimana, masa pulang sampai larut begini)

"Widya karo wahyu ton?" (Widya sama wahyu ya ton)

Anton mengangguk. "iyo"

Nur melihat Widya, wajahnya tampak letih, sperti barusaja mengalami kejadian tidak mengenakan, semua orang sudah menunggu kedatangan dua anak ini, yg berjanji akan membelikan keperluan titipan mereka, namun, dari belakang, Wahyu tampak sangat bersemangat seakan ia membawa sesuatu

entah karena suasana hati semua orang buruk di ruangan itu, Bima mencoba mencairkan suasana, "loh, kok kaku ngene seh" (kok jadi canggung gini sih) Bima mendekati Widya,

"awakmu pasti pegel kan," "istirahat sek Wid" (kamu pasti kecapekan kan, yao istirahat dulu Wid) kata Bima.

namun, Nur dan ayu, memandang sengit perlakuan Bima, sehingga Widya merasa ada yang salah dengan mereka semua.

namun, Wahyu yang sedari tadi menggendong isi tasnya, langsung mengambil alih perhatian mereka, dengan nafas menggebu-nggebu, ia bercerita pengalamanya yang baru saja di tolong warga desa tetangga karena motornya mogok, namun, anehnya, semua orang memandang Wahyu dengan sinis

Bima yang pertama menanggapi ucapan Wahyu.

"Deso tetangga opo? gak onok maneh deso nang kene?" (desa tetangga apa, gak ada lagi desa disini) kata Bima mengingatkan.

"halah, ngapusi, eroh teko ndi awakmu?!" (halah, bohong kamu, tahu darimana?) sanggah Wahyu saat itu.

"aku wes sering nang kota, mbantu warga deso dodolan hasil alam, dadi gor titik aku paham wilayah iki" (aku sudah sering ke kota, bantu warga jual bahan alam disini, jadi ya tau sedikitnya daerah ini)

"ngapusi koen halah tot" (bohong kamu dasar, sial)

Nur yang sedari tadi mendengar, membantu Bima, "bener mas wahyu, gak onok deso maneh nang kene," (bener mas Wahyu, gak ada lagi desa disini.)

alih-alih setelah mendengar itu, Wahyu semakin tidak terima,ia kemudian memanggil Widya, "Wid duduhno opo sing di kek'I ambek warga sing nang tasmu" (Wid tunjukan oleh-oleh yang di kasih tadi sama warga di dalam tasmu)

dengan enggan Widya membuka isi tasnya, Wahyu yang sudah tidak sabar segera merebutnya, meraihnya dengan tanganya, namun, ekspresinya berubah manakala ia mengeluarkan barang itu.

Widya yang melihat benda itu sama kagetnya dengan wahyu, namun Nur yang melihatnya tampak bingung, pun dengan semua orang saat itu, benda seperti apa yang di bungkus dengan pelepah daun pisang seperti itu.

Nur sempat melihat Wahyu dan Widya bertukar pandang, ia tahu ada yg salah

saat Wahyu membukanya, kaget, yang ada di dalamnya rupanya adalah kepala monyet terpenggal dengan darah yang masih segar.

seketika, reaksi semua orang membalikkan wajahnya, termasuk Nur yang segera mengambil kain untuk menutupinya, baunya amis dan membuat seisi ruangan mual

Wahyu tampak shock, Widya apalagi, Ayu segera membopongnya masuk ke dalam kamar, sementara Bima dan Anton, segera membereskan semua itu.

Wahyu, ia muntah sejadi-jadinya, semalaman, semua orang termenung dengan berbagai kejadian ganjil, termasuk Nur, dimana Widya mencuri pandang

Malam setelah Widya dan Ayu melepas penat, Nur terbangun, ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Bima dan Ayu yang tanpa sengaja ia curi dengar.

dengan cekatan dan mengambil resiko, Nur mengambil isi tas Ayu, membawanya menuju ke pawon (dapur) sendirian. ia merasa, benda itu disana

Nur membongkar semua benda-benda itu, namun, tidak ada yang aneh, toh dia sudah mengeluarkan isi tasnya, sebelum, Nur sadar, masih ada resleting tas yang belum ia buka, tepat ketika Nur membukanya, ia bisa mencium aroma wewangian di dalamnya.

sebuah selendang hijau milik penari

Baca Juga: Merinding! Ternyata Nur Asli Sempat Diberi Kode Seorang Kakek untuk Tidak Melanjutkan KKN di Desa Penari

tiba-tiba, tangan Nur seperti gemetar hebat, nafasnya menjadi sangat berat, tempat ia berada seakan-akan menjadi sangat dingin

dan, tabuhan kendang di ikuti alunan gamelan berkumandang, Nur tahu, si penari ada disini,

apa yang Ayu sebenarnya lakukan

apa yang Bima sembunyikan?

tepat saat itu juga, Nur melihat dengan mata kepala sendiri, Widya melangkah masuk ke pawon (dapur) matanya tajam menatap Nur, kaget setengah mati, Nur bertanya pada Widya.

"nyapo Wid awakmu nang kene?" (ngapain kamu wid, ada disini?)

namun Widya hanya berujar "ojok di terusno"

(jangan diteruskan)

Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesanya, itu khas jawa sekali yang sampai Nur tidak begitu mengerti. yang Nur tangkap hanya kalimat "salah" "nyawa" "tumbal" itu pun tidak jelas

selain itu, setiap dia melihat Nur, ia seperti memberikan ekspresi sungkan, sepeti anak muda yang memberi hormat kepada orang tua.

kalimat terakhir yang Widya ucapkan sebelum kembali ke kamarnya adalah, "kamu bisa pulang dengan selamat, saya yang jamin" tapi dengan logat jawa

Nur membereskan semuanya saat itu juga, ia mengembalikan tas Ayu pada tempatnya, sempat ia melihat Widya yang tengah tidur, ia mengurungkan niat untuk membangunkanya, esok, ia harus bertemu dengan Bima, Nur yang paling sadar, tempat ini sudah menolak mereka semua.

sejak insiden itu, Ayu menghindari Nur, terlebih Bima apalagi, meski begitu, tidak ada yang nampak bahwa mereka sedang memiliki urusan, Widya wahyu dan Anton pun, di buat tidak sadar, bahwa ada permasalah internal pada kelompok KKN mereka. Nur, bingung, tidak ada yang bisa-

untuk di ajak berbagi, kecuali. mbah Buyut, namun, ia tidak tahu dimana beliau tinggal, pun Nur sudah mencoba mengelilingi desa, tak di temui sosok lelaki tua itu, sehingga akhirnya, Nur berinisiatif menyelesaikan ini sendiri, ia menemui Bima, sore itu, mengajaknya ke tepi sungai

"ceritakno sing gak isok mok ceritakne nang ngarep'e Ayu" (ceritakan yang gak bisa kamu ceritakan didepan Ayu)

Bima tampak menimbang apakah dia harus bicara atau tidak sampai akhirnya ia menyerah dan mengatakanya.

"aku khilaf Nur" kata Bima,

"cah iki, pancet ae" (benar2 ya)

"gak, gak iku. aku pancen khilaf wes ngunu ambek ayu, tapi aku luweh khilaf, wes nyobak-nyobak melet Widya" (bukan, bukan itu, aku memang khilaf sudah melakukan itu sama Ayu, tapi aku lebih khilaf sudah mencoba membuat Widya suka sama aku)

"maksude?" tanya Nur penasaran.

"nang nggon sing mok parani, iku onok sing jogo, arek wedok ayu, jeneng'e dawuh" (di tempat yang kamu datangi ada penjaganya, seorang perempuan cantik, namanya dawuh)

"jin" tanya Ayu,

"gak. menungso" (tidak. manusia)

"mosok onok, iku ngunu jin," (mana ada, itu jin)

terjadi perdebadan sengit antara Nur dengan Bima, dengan bersikeras Bima mengatakan yang ia temui seorang perempuan warga desa ini. namun, Nur membantah, tidak ada yang tinggal disana, lagipula tempat itu di larang sejak awal. namun, Bima terus menolak sampai tanpa sengaja,

-menampar Nur, hingga terseok di tepi sungai, Nur pun menghujani Bima dengan batu, seakan-akan kepala Bima sudah tidak beres, sampai akhirnya Bima mengatakan, "arek iku, wes ngekek'i aku, Kawaturih kanggo Widya, jarene iku jimat ben aku ambek arek'e di persatuno"

(perempuan itu, sudah memberiku semacam mahkota putih yang ada di lenganya, yang katanya, itu bisa membuat Widya selalu nempel sama aku)

Nur yang mendengar itu, semakin tersulut, "goblok yo koen, gorong 4 tahun, wes rusak utekmu, syirik koen Bim"

(bodoh ternyata kamu ya, belum 4 tahun sudah rusak isi kepalamu, yang kamu lakukan itu menyekutukan Bim)

"nang ndi barang iku sak iki?" (dimana sekarang barang itu?) tanya Nur,

"di gowo Ayu, nek jarene, wes ilang" (dibawa oleh Ayu, katanya, sudah hilang)

"aku gak ngurus Bim, balekno barang gak bener iku, awakmu gak paham ambek kelakuanmu, iku ngunu isok gowo balak"

(aku tidak perduli, gimana caranya, kembalikan barang itu, kamu gak mengerti, perbuatanmu, bisa mendatangkan malapetaka)

Nur pergi, sekarang, ia tahu harus kemana, menemui Ayu.

Nur barusaja bertemu dengan Ayu setelah keluar dari rumah pak Prabu, Nur tidak mengerti apa yang barusaja dia lakukan.

"lapo koen?" (ngapain kamu)

Ayu mencoba menahan malu, setiap kali melihat Nur, mata Ayu seperti meratap atas apa yang sudah ia perbuat, dan itu fatal.

"gak popo Nur, tak cepetno, ben proker'e arek -arek cepet mari, mari iku ayo balik, pokok'e fokus KKN kabeh yo" (gak papa Nur, aku percepat urusanya, biar anak-anak semuanya bisa fokus garap proker mereka, kita juga harus kembali, intinya fokus dulu sama KKN ya)

"aku pengen ngomong yu, soal" (aku mau ngomong yu, soal) kata Nur yang terhenti melihat Anton mendekat, nafasnya terengah-engah, "Nur, warga sing mbantu, kerasukan kabeh, rusak proker kene iki" (Nur, warga yang bantu proker kita kerasukan, rusak semua proker kita)

Ayu, Nur dan Anton pergi ke lokasi, waktu itu ramai, dan ketika Nur tiba, seorang pria yang di pegangi oleh warga, tampak melotot melihat Nur, ia menunjuk Nur seakan biang masalah di desa ini, ia menyentak dengan suara berat. "Tamu di ajeni tambah ngelamak koen, mrene koen"

(Tamu sudah dihormati tambah seenaknya, kesini kamu kesini!!)

Nur kaget, ia di lindungi warga lain, tidak hanya pria itu, ada satu lagi, yang juga di tahan, sayangnya, pria yang satu lagi, melotot pada pria pertama, seakan ia marah pada warga desa itu. "aku wes janji-

jogo cah iki, awakmu ra oleh gawe perkara ambek arek iki" (saya sudah berjanji sama seseorang untuk jaga anak ini, kamu tidak boleh membuat masalah sama dia)

Baca Juga: Kronologi Lengkap Cinta Segitiga antara Bima, Widya, Ayu Asli dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari versi Nur

warga yang resah akhirnya membawa Nur ke rumah mereka, berikut Ayu dan Anton, di ikuti yang lain, kecuali, Widya.

saat Wahyu di konfirmasi, dimana Widya, Wahyu mengatakan Widya sama warga lain melanjutkan prokernya, tidak ada yang tahu mereka ada di salah satu rumah warga,

namun, ketika langit mulai petang, Nur hilang dari kamarnya, warga yang tahu, panik. terakhir kali, Nur pingsan.

Nur terbangun dalam keadaan menggunakan mukenah sholat dan ada Widya di sampingnya, namun, wajah Widya tampak tegang, Widya tidak bisa menyembunyikan bahwa ia baru saja mengalami kejadian janggal.

"ket kapan isok ndelok Nur?" (sejak kapan kamu bisa lihat begituan?)

Nur yang mendengar itu kaget, sejak kapan Widya tahu dan bertanya soal itu. mereka terjebak dalam suasana canggung. Nur jadi berpikir, bahwa kunci semuanya, mungkin ada pada Widya,

sejak awal, Widya juga yang paling aneh di tempat ini.

"aku gak isok ngomong Wid, penjelasane ruwet, tapi, aku wes keroso ngene iki ket mondok," kata Nur, "Ghaib iku nyata Wid"

(aku gak bisa jelaskan secara spesifik, tapi, aku sudah merasa begini sejak mondok, yang jelas, ghaib itu nyata Wid)

"awakmu onok sing jogo ya?" (kamu ada yang jaga ya?) tanya Widya, yang membuat Nur semakin kaget, bingung harus menjelaskanya, ia harus mengingat bahwa sebelum keluar dari pesantren, banyak temanya yang bilang, setiap malam, Nur terbangun dan melafaldzkan doa yang bahkan-

sangat susah di hafal oleh santri pondok saat itu.

teman-temanya sampai memanggil guru mereka, agar Nur di ruqiah, namun, guru Nur menolak, beralasan bahwa, selama tidak menganggu keimanan Nur, di biarkan saja, daripada menjadi boomerang untuk Nur, bahkan,

guru Nur sudah berulang kali menjelaskan bahwa, ia harus tetap mengimankan kepercayaanya, tidak perlu memperdulikan jin model apa yang mengikutinya selama ini.

si guru memanggil jin itu dengan nama "Mbah dok" karena berwujud wanita tua.

tanpa Nur sadari, itu adalah kali pertama ia bisa bicara lagi sama Widya setelah lama, ia seolah saling menjauhi satu sama lain, Nur menceritakan semuanya, pengalaman di pondok hingga ia keluar darisana, kecuali, insiden ganjil di tempat ini, Nur masih menyimpanya sendiri.

karena Nur percaya, Widya punya apa yang ia cari selama ini, meski itu hanya asumsi, namun, ia yakin, Widya memilikinya.

Baca Juga: Kronologi Bima dan Ayu Kepergok Nur Melakukan Hal Fatal Sebelum Meninggal dalam Cerita Asli KKN di Desa Penari

hingga, kesempatan itu muncul, Nur, melihat kamar, tanpa ada satu orangpun, Ayu dan Widya mengerjakan proker mereka, Nur membuka almari, mengeluarkan isi tas Widya.

ia membongkar semuanya, mencari hingga ke celah terkecil di tas yang Widya bawa, semua persedian yang ia bawa tak luput dari pencarianya, sampai, Nur akhirnya menemukanya.

sebuah logam melingkar, dengan bentuk ukiran dari kemuning, bentuknya indah layaknya-

sebuah perhiasan, tidak hanya itu, di tengahnya, ada batu mulia berwarna hijau, dengan wajah bingung, Nur bergumam sendiran "Kawaturih" itu, bagaimana bisa ada pada Widya.

melihat itu, Nur sudah hilang kesabaran, ia membongkar isi tas Ayu, mengambil selendang hijaunya, 2 benda itu, Nur simpan pada sebuah kotak kayu yang ia temukan di pawon (dapur) tempat biasa untuk menyimpan bumbu masakan, tidak hanya itu, Nur menutupinya dengan kain putih, yang-

di dalamnya, ada kitab agamanya. Nur menyembunyikan tepat di bawah meja kamar, tertutup taplak meja. lalu, Nur pergi mencari Ayu,

setelah menemukan Ayu di tempat proker, Nur menarik Ayu, membawanya menjauh sebelum menampar wajahnya sampai Ayu, tidak bisa bicara apa-apa.

"gak waras koen yo, barang ngunu mok deleh nang tas'e Widya!! cah edan, kate makakno Widya koen yo, gak cukup ambek masalahmu opo!!" (gak waras kamu ya, barang seperti itu, sengaja di tarus di tas Widya!! orang gila, mau kamu umpankan Widya ya, apa gak cukup sama masalahmu!!)

"jelasno kok isok-isokne awakmu tego, yo opo penjelasanmu isok nduwe barang-barang gak bener iku?!" (jelaskan kok bisa kamu tega ya, gimana penjelasanmu kok bisa punya barang seperti itu)

"barang opo to Nur?!" (barang apa sih Nur?) tanya ayu.

"selendang hijau iku"

Ayu yang mendengar itu tampak kaget.

"kok isok awakmu eroh Nur, awakmu kelewatan mbongkar barang pribadine wong liya yo" (kok bisa kamu tahu, kamu itu kelewatan kok bisa bongkar barang milik orang lain)

"sak iki, melu aku nang pak Prabu, ayok" (sekarang, ikut aku ke pak Prabu)

Nur menarik Ayu, menyeretnya kuat-kuat, namun Ayu menolak sebelum ia mengatakanya.

"aku di kongkon ndeleh iku, gawe gantine selendang iku" "selendang sing nggarai Bima gelem mbek aku"

Baca Juga: Mengerikan! Ini Hukuman Untuk Bima dan Ayu Asli Dalam Cerita Nyata KKN di Desa Penari

(aku disuruh naruh benda itu, sebagai pengganti selendang itu, selendang yang bikin Bima mau)

"sopo sing ngekek'i iku?" (siapa yang ngasih itu?) tanya Nur, namun Ayu menolak mengatakanya.

"sopo kok!!" (siapa kok!!)

Ayu tetap menolak, bahkan sampai Nur mengatakan apa perempuan yang juga Bima temui yang menyuruhnya, ekspresi Ayu tampak kaget mendengarnya,

Ayu mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu siapa perempuan itu, dan siapa yang memberinya juga tidak ada hubunganya sama perempuan itu, bahkan sekalipun, Ayu tidak pernah bertemu perempuan yang di katakan Bima sangat cantik itu

Nur menyerah, namun firasat buruknya, semakin terasa

(ada hal ganjil disini, yang Nur sadari di kemudian hari, orang atau makhluk yang memberi Nur selendang ini, siapa?

sampai akhir cerita ini belum dipecahkan, bahkan dari saat gw bicara sama mbak Nur, beliau hanya berasumsi, namun tidak berani mengatakan)

puncaknya, adalah setelah malam panjang itu. disini, petaka yang paling di takutkan oleh Nur, terjawab.

Nur terbangun ketika subuh, ia tersentak saat mendengar Widya menangis, tangisanya sangat keras sampai Nur terkesiap lalu terbangun dari tidurnya

saat ia melihat, apa yang membuatnya terbangun, Nur melihat Ayu, dengan mata terbuka, ia mengangah, seperti mau mengatakan sesuatu

belum berhenti sampai disana, Nur tidak menemukan Widya di tempatnya, hal itu, membuat Nur menjerit sehingga Wahyu dan Anton merangsek masuk dengan wajah khawatir.

"onok opo Nur? (ada apa Nur?)

"Widya ilang mas" (Widya hilang mas)

Wahyu dan Anton terhenyak sesaat, sebelum-

"Bima yo gak onok nang kamar loh"(Bima juga gak ada di dalam kamar) kata Anton buru-buru,

sontak, semua mata memandang Ayu, Wahyu terhentak bingung.

"Ayu kenek opo Nur" (Ayu kenapa Nur)

"celukno pak Prabu!!" (panggilkan pak Prabu)

Anton yang mendengarnya langsung pergi.

"yu, tangi yu!!" (yu ayok bangun yu) namun, Ayu masih sama, ia hanya melihat langit-langit, Nur manah mulutnya agar tertutup, namun, ia terus mengangah, Wahyu yang melihat tidak bisa berbuat apa-apa

"Cok onok opo seh iki" (asem, ada apa sih ini)

"celokno warga ojok ndelok tok!"

Wahyu pun ikut pergi, Nur terus menahan mulut Ayu. sampai Pak prabu datang bersama Anton dan melihatnya.

"kok isok koyok ngene to nduk" (kok bisa sampai begini sih nak)

Pak prabu, pergi ke pawon, ia kembali membawa teko air, Nur menahan isi kepala Ayu, dan meminumkanya.

tiba-tiba, ayu menutup mulutnya, namun, ia masih belum bereaksi, tidak beberapa lama, warga sudah berdatangan bersama Wahyu, saat itu, rumah itu di penuhi warga, tanpa banyak bicara, pak Prabu menyuruh beberapa orang untuk memanggil mbah Buyut.

dan warga itu pun pergi.

Nur menjelaskan kronologi kejadian itu, namun, ia meminta pak Prabu tidak menceritakan semua ini kepada warga, Anton dan Wahyu yang mendengarnya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Asu, kok isok loh" (anj*ng! kok bisa bisanya) Wahyu tampak merah padam mendengarnya.

pak Prabu pun mengumpulkan warga, meminta mereka semua pergi menyisir setiap penjuru Desa, ia beralaskan, bahwa Bima dan Widya hilang kemarin malam, dan saat ini belum kembali.

meski warga awalnya bingung, bagaimana bisa, namun mereka semua langsung bergerak, termasuk Wahyu

Anton pun begitu, ia ikut menyisir ke hilir sampai hulu sungai, sebisa mungkin dengan beberapa warga yang membawa parang dan berbagai barang yang tidak pernah ia pahami.

Nur terus menangis, melihat kondisi Ayu, membuat ia tidak bisa menahan kesedihan yang sudah memenuhi hatinya

pak Prabu meminta penjelasan lebih detail, setelah itu, Nur menunjukkan barang yang seharusnya ia berikan kepada pak Prabu saat mendapatkanya.

tepat ketika membuka kotak itu, pak Prabu yang melihatnya, kaget bukan main, sampai ia tiba-tiba berteriak marah "OLEH TEKAN NDI IKI?!"

(DAPAT DARIMANA KAMU BENDA INI!!)

Nur yang kaget, kemudian menjelaskan sisa ceritanya, disana, pak Prabu terlihat frustasi, ia kemudian mengatakan kepada Nur, "nek kancamu gak ketemu, ikhlasno, ben aku sing ngadepi masalah iki" (bila sampai temanmu, tidak ditemukan, ikhlaskan biar aku yang menghadapi sisanya)

Nur pun bertanya, benda apa itu sebenarnya, namun pak Prabu tidak bicara, ia harus menunggu datangnya mbah Buyut yang akan menceritakan semuanya.

berjam-jam sudah di lewati namun belum ada kabar satupun dari warga yang kembali, sampai terdengar suara motor mendekat, manakala Nur dan pak Prabu berdiri untuk melihat sesiapa yang datang,

mbah Buyut mendetak dengan tergopoh-gopoh, seakan mencari sesuatu,

mbah Buyut mengambil kawaturih, kemudian bertanya siapa yang punya, Nur mendekat, menjelaskan semuanya, ekspresi tenang mbah Buyut, tidak terlihat sama sekali.

kemudian ia menatap Ayu, helaan nafas berat mbah Buyut keluarkan, kemudian ia, meminta Prabu membuatkan kopi hitam

mbah Buyut duduk sembari berpikir, banyak pertanyaan yang ia ajukan mulai, sejak kapan ada benda seperti ini disini, lalu bagaimana bisa selendang itu di miliki Ayu,

Nur menceritakan semuanya,

saat menyesap kopi itu, mbah Buyut berujar "kancamu, keblubuk angkarah"

(temanmu terjebak dalam pusaran)

"trus, yok nopo mbah?" (lalu bagaimana mbah)

"siji kancamu wes ketemu, tapi sukmane gorong, tenang sek, yo" (satu temanmu sudah ketemu lagi, tapi rohnya belum, sabar ya.

tidak beberapa lama, kerumunan warga mendekat, Wahyu masuk wajahnya pucat

seorang warga membopong seseorang.

ketika Nur melihatnya, ia tidak bisa menghentikan jeritanya, manakala melihat Bima kejang-kejang layaknya seorang yang terkena epilepsi.

Wahyu, segera memeluknya, menutupi Nur agar tidak melihat Bima yang menjadi seperti itu.

Mbah buyut kemudian mengatakan, bahwa bila sukma dua orang ini sedang terjebak, namun, ada satu orang yang bukan hanya sukmanya yang hilang atau di sesatkan, melainkan raganya juga ikut disesatkan, ia adalah Widya, orang yang paling di inginkan oleh, Badarawuhi namun, ia meleset

Mbah buyut menunjukkan kawaturih, yang harusnya memiliki pasangan, benda ini di letakkan di lengan seorang penari, sebagai susuk, entah ada kejadian apa, Badarawuhi menginginkan benda ini ada pada Widya, namun, Nur yang menemukanya, kemudian mengambilnya, membuat benda ini-

kehilangan pemilik, yang maka artinya, Nur yang memiliki, tapi, Nur di lindungi, itulah alasan kenapa Nur selalu merasakan bahwa badanya terasa berat di jam-jam tertentu, mbah Dok yang melindungi Nur sudah berkelahi hampir dengan setengah penghuni hutan ini.

setelah itu, pak Prabu meminta agar Ayu dan Bima di tutup oleh kain selendang, di ikat dengan tali kain kafan, membiarkanya seolah-olah mereka sudah tidak bernyawa.

mbah Buyut, pergi ke kamar, ia akan mencari Widya, menjelma sebagai Anjing hitam dengan ilmu kebatinanya

Baca Juga: Bikin Bulu Kuduk Merinding Ternyata Ini Pesan Terakhir Widya Asli KKN Di Desa Penari Berikut Ulasannya

pak Prabu menceritakan bahwa memang ada rahasia yang tidak ia katakan dan alasan kenapa ia menolak keras di adakan kegiatan ini sejak awal.

tepat di samping lereng, ada tapak tilas, tempat penduduk desa ini mengadakan pertunjukkan tari, bukan untuk manusia namun untuk jin hutan

ia mengatakan, dulu, setiap di adakan tarian itu, untuk menghindari balak (bencana) bagi desa ini, seriring berjalanya waktu, rupanya, mereka yang menari untuk desa ini, akan di tumbalkan, masalahnya, setiap penari haruslah dari perempuan muda yang masih perawan.

"tapi Ayu pak" kata Nur membantah.

"itu masalahnya" kata pak Prabu, "asumsi saya, Ayu sejak awal hanya sebagai perantara, ke Widya lewat Bima, namun, Ayu tidak memenuhi tugasnya, akibatnya, Ayu di buatkan jalan pintas, ia di beri selendang hijau itu. tau darimana selendang itu?"

selendang para penari.

pak Prabu kemudian duduk, matanya merah padam, "seharusnya saya menolak habis-habisan bila bukan karena dia adik teman saya" "selendang itu, adalah selendang yang keramat, tidak ada lelaki yang bisa menolak selendang itu saat di pakai oleh perempuan"

"nak Ayu tidak salah, nak Bima pun begitu, saya yang salah, seharusnya saya tolak kalian semua, toh anak-anak kami pun tidak ada yang tinggal disini, tempat ini, bukan untuk anak setengah matang seperti kalian"

mendengar itu, membuat Nur tidak kuasa melihat Ayu.

Begitulah uraian lengkap tentang kesalahan terbesar yang diperbuat Bima dan Ayu asli sebelum mereka meninggal dalam kisah nyata KKN di Desa Penari karya SimpleMan.***

 

Editor: Septia Annur Rizkia

Tags

Terkini

Terpopuler