Kronologi Lengkap Penyebab Widya Asli Diincar Badarawuhi untuk Jadi Dawuh dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari

- 22 Mei 2022, 03:35 WIB
Konologi lengkap penyebab Widya asli diincar Badarawuhi untuk jadi dawuh dalam kisah nyata KKN di Desa Penari SimpleMan
Konologi lengkap penyebab Widya asli diincar Badarawuhi untuk jadi dawuh dalam kisah nyata KKN di Desa Penari SimpleMan /IG @kknmovie

UTARA TIMES – Kronologi lengkap penyebab Widya asli diincar Badarawuhi untuk jadi dawuh dalam kisah nyata KKN di Desa Penari bisa kamu simak.

Pada dasarnya kronologi lengkap tentang penyebab Widya asli yang telah diincar Badarawuhi untuk menjadi dawuh telah dijelaskan oleh SimpleMan dalam kisah nyata KKN di Desa Penari.

Dalam hal ini kronologi lengkap penyebab Widya asli diincar Badarawuhi untuk menggantikan posisinya sebagai dawuh juga sebagaimana thread Twitter SimpleMan yang viral 2019 lalu.

Selain tersedia dalam versi tulisan, kronologi penyebab Widya asli diincar Badarawuhi sedari ia melaksanakan KKN di Desa Penari karena juga telah divisualisasikan dalam bentuk film oleh MD Pictures.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Cinta Segitiga antara Bima, Widya, Ayu Asli dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari versi Nur

Adapun kronologi lengkap penyebab Widya yang sedari awal sudah diincar Badarawuhi dalam kisah nyata KKN di Desa Penari bisa kamu baca pada beberapa potongan thread Twitter SimpleMan yang hingga saat ini masih bisa ditemukan jejak digitalnya.

KKN di Desa Penari versi Widya

By SimpleMan

Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun Pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah Pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita Pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.

Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekadar mencuri pandang saja, tidak lebih.

Dengan suara serak, mbah Buyut pergi ke dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.

"Monggo (silahkan)," kata beliau, matanya memandang Widya.

Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.

Tidak hanya Widya, semua orang ditegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semua akhirnya mencobanya.

Berikutnya, Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa ditolerin masuk ke tenggorokan.

Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja. "Begini," kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa Jawa halus sekali, sampai ucapannya kadang tidak bisa dipahami semua anak. Ada kalimat penari dan penunggu, namun yang lainnya tidak dapat dicerna.

Ia menunjuk Widya tepat di depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius. Pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang.

Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.

Baca Juga: Kronologi Bima dan Ayu Kepergok Nur Melakukan Hal Fatal Sebelum Meninggal dalam Cerita Asli KKN di Desa Penari

Kunjungan itu sama sekali tidak diketahui tujuannya. Selama perjalanan, Pak Prabu bercerita, tentang kopi. Kopi yang dihidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang diracik khusus untuk memanggil lelembut, demit dan sejenisnya.

Bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkannya. Namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.

Semua anak memandang Widya. Namun Pak Prabu segera mengatakan hal lain. "Sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)."

Selain mengatakan itu, Pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya diikuti saja. Yang lebih penting, Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya. Untuk itu, Pak Prabu punya gagasan. Mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, Pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja.

Pertemuan itu juga diminta untuk tidak diceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.

Tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau, sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang ditemui anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.

Di belakang rumah, ada watu item (batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang dan dikelilingi daun tuntas.

Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari Pak Prabu. Setelah kejadian itu, Ayu sedikit menghindari Widya.

Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah-mentah pesan orang tua itu.

****************

Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan. Tapi rupanya, Widya salah. Seorang warga desa kaget bukan main melihat Widya. Dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.

"Widya nang kene, iki Widya wes balik (Widya di sini, anaknya sudah kembali)."

Bingung, hampir semua warga berhamburan memeluk Widya.

Baca Juga: Firasat Ibu Widya Asli Sebelum Putrinya Berangkat KKN di Desa Penari dalam Kisah Nyata yang Berakhir Tragis

"Mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki (ke sini nak, ke sini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu dengar)."

Seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya hanya gaguk, diam, tidak mengerti. Si ibu menggandeng Widya, Widya masih diam, seperti orang linglung.

Di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya. Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang.

"Wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek. (sudah dicari sampai ujung Hutan *********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk)."

Sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.

Ketika Widya melihat rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul di sana, dan saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir. Seperti melihat hantu lalu, terlihat dari dalam, Pak Prabu keluar, wajahnya mengeras melihat Widya.

Mata Pak Prabu mendelik, melihat Widya.

"Tekan ndi ndok (dari mana kamu nak)?"

Widya tidak menjawab apa yang Pak Prabu tanyakan, si ibu juga menenangkan Pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.

Saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu dipenuhi orang yang duduk bersila. Mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya ditutup selendang, diikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.

"Wid, tekan ndi awakmu (dari mana kamu Wid)?" ucap Nur yang langsung memeluk Widya.

"Onok opo iki Nur (ada apa ini Nur)?"

Nur menutup mulutnya, tidak tahu harus memulai dari mana, sampai Wahyu berdiri.

"Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa ditutup"

Widya mendekati Ayu, di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi. Matanya kosong melihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut menjerit sebelum ada yg menenangkan.

Dari pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya.

Baca Juga: Ini yang Diperbuat Bima dan Ayu Asli di Tapak Tilas Sebelum Meninggal dalam Kisah Nyata KKN di Desa Penari

"Sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)."

Mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakannya.

"Koncomu wes kelewatan."

"Pripun mbah (bagaimana mbah)?"

"Yo opo rasane dikerubungi demit sa'alas (bagaimana rasanya dikelilingi makhluk halus satu hutan)?"

Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadarannya.

"Nyoh, diombe sek (nih, diminum dulu)

Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang menohok membuat tenggorokan Widya seperti dicekik, membuat Widya memuntahkannya, begitu banyak muntahan air liur Widya yang keluar. Ia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk, seperti memastikan.

"Koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh bangsa demit. (temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa diterima manusia, apalagi bangsa halus)," kata mbah Buyut sembari geleng kepala.

"Paham ndok (paham nak)?"

Widya mengangguk.

"Sinden sing digarap, iku ngunu, sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi. (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi)."

"Eroh opo iku sinden (tahu kegunaan sinden)?"

"Mboten mbah (tidak tahu mbah)."

"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. Nah, sinden sing cidek kali, gak popo digarap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh diparani, opo maneh sampe digawe kelon. (Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil. Nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa dikerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh didatangi, apalagi dipakai kawin)."

"Widya ngerti, sopo sing gok sinden iku (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu)?"

Widya diam lama, sebelum mengatakannya.

"Ular mbah."

"Nggih, betul."

"Sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo... (yang kamu lihat itu adalah anaknya Bima sama...)

"Ular itu mbah."

Mbah buyut mengangguk

"Iku ngunu, mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes diincer karo... (itu, mbah yang kecolongan, Widya cuma dijadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi kamu, tapi mbah salah, dari awal yang diincar sama...)

Mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu.

"Ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali)?"

"Isok isok," kata mbah Buyut, "sampe balak'e diangkat."

"Balak'e diangkat mbah (bencananya diangkat)?" tanya Widya, bingung.

"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing dilakoni (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)."

"Ayu sak iki, kudu nari, keliling alas iki (Ayu sekarang harus menari mengelilingi hutan ini)."

"Sak angkule nari, sadalan-sadalan (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)."

"Bima mbah?"

Baca Juga: Mengapa Hanya Orang Lanjut Usia yang Tinggal di Desa dalam Film KKN di Desa Penari? Simak Ulasannya

"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe sinden (Bima ya harus mengawini yang punya sinden)

"Badarawuhi mbah."

Mbah Buyut kaget.

"Oh ngunu (oh begitu) wes eroh jeneng'e (sudah tahu namanya)."

"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari. (Badarawuhi itu salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus menggantikannya)

"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo. (Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ular)

"Salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate. (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)

"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok ditolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep-orep. (Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukannya, gak bisa ditolak apalagi sampai dibuang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup-hidup)."

Mbah buyut pergi, Nur, Wahyu dan Anton melihat Widya sendirian di pawon, duduk, sembari termenung.

"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! Kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t)

Kalimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.

Meski yang diucapkan Wahyu itu kasar, namun tidak ada yang keberatan dengan semua itu, terlebih, masalah ini sudah sampai ke pihak kampus, bahkan ke keluarga Bima dan Ayu.

Pak Prabu menceritakan bahwa kronologi kejadian ini sudah tidak bisa mereka bendung. KKN yang menjadi tanggung jawab beliau, harus sampai, ke semua orang yang terlibat, meski awalnya Nur mencoba memohon agar masalah ini jangan sampai keluar dulu.

Baca Juga: Fakta Menarik Desa Rowo Bayu Lokasi Asli KKN Desa Penari, Simak Faktanya Disini

Namun, hilangnya Widya, membuat Pak Prabu akhirnya menyerah dan memilih melaporkannya.

Lalu apa yang terjadi sama Ayu dan Bima?

Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari Pak Prabu.

Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh. Bima, masih kejang-kejang.

Well ada yang mau lihat foto mereka?

maaf maaf, Aib!!

Seperti itulah kronologi lengkap penyebab Widya asli diincar Badarawuhi untuk jadi dawuh dalam kisah nyata KKN di Desa Penari yang ditulis SimpleMan dan telah diadaptasi menjadi film layar lebar, yakni karena memiliki darah hangat yang disukai para makhluk halus.***

 

 

Editor: Septia Annur Rizkia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x