Perjalanan Sastra Indonesia zaman penjajah Jepang dan peninggalannya kini

8 November 2020, 21:28 WIB
Ilustrasi: Kolonialisme Belanda di Nusantara. / Foto: Tropenmuseum./

 

UTARA TIMES- Pada periode 1942-1945 zaman di mana Hindia dikuasai oleh negara Jepang karena kalahnya sekutu dalam perang dunia kedua ikut mewarnai perkembangan kesusastraan Indonesia.

Pada awal Maret 1942 Jepang datang dan mendarat di Hindia di situlah awal mula pendudukan pemerintahan Jepang dimulai. Jepang datang seolah-olah sebagai malaikat penyelamat bagi negara-negara Asia salah satunya Indonesia. 

Baca Juga: Lima Instansi CPNS 2021 Untuk SMA dan SMK, Cek Disini

Banyak kebijakan-kebijakan Jepang yang sebetulnya adalah bentuk penjajahan dan penindasan.

Bahkan pada sektor kebudayaan dan kesusastraan dianggap lebih kejam dan lebih ketat dari Balai Pustaka yang dibentuk kolonial Belanda.

Keimin Bunka Shidoso –yang dalam bahasa Indonesia disebut kantor Pusat Kebudayaan –adalah sebuah lembaga atau organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertuga memobilisasi berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya yang dikobarkan jepang (Yudiono, 2010:89).

Baca Juga: 3 Minuman ini dapat menjaga daya tahan tubuh saat musim hujan, anda bisa bikin dirumah!

Baca Juga: Rekomendasi untuk bunda tempat Wisata Anak di Bogor setelah lama belajar Online dirumah

Kantor Pusat Kebudayaan yang dibentuk Jepang itu tergabung sejumlah seniman yang ditugaskan untuk membuat karya melalui sajak, lagu, film, drama dan sebagainya untuk dijadikan sebagai pembakar semangat bagi Jepang.

Jepang pula menjajikan apabila memenangi perang tersebut maka masa depan yang cerah bisa didapatkan oleh Indonesia. Sastra teutama novel dan cerpen sangat produktif pada masa ini.

Namun, karya sastra yang dihasilkan tersebut memasung kreativitas sastrawan. Hal tersebut bertujuan untuk menjadikan sastra dan budaya sebagai alat propaganda. Jepang juga kerap kali membuat sayembara-sayembara penulisan, namun tema dan isinya disesuaikan dengan kobaran semangat perang Asia Timur Raya.

Baca Juga: Gelar Aksi Sosial, Pemuda Desa Cilongok Peduli Lansia

Salah satu surat kabar bentukan Jepang pada masa itu yakni Asia Raya. Surat kabar ini menjadi media propaganda Jepang dalam kekuasaannya di Hindia. Berikut kutipan yang dikemukakan oleh Maman S Mahayana (2007:190).

Sejak tahun 1942, Asia Raya menyediakan beberapa rubrik tetap. Tiga di antaranya yang hingga menjelang berakhirnya penerbitan Asia Raya, yaitu rubrik bahasa Jepang, Roeangan Poetri, dan agama (Islam) masih tetap dipertahankan keberadaannya.

Baca Juga: Jarak Konvoi Bersepeda Maksimal 5-10Meter

Rubrik pelajaran bahasa Jepang jelas punya arti penting, mengingat masih sangat sedikitnya orang Indonesia yang dapat berbahasa Jepang.

Baca Juga: Zaskia Gotik Melahirkan Anak pertama secara prematur, Berawal Pagi Sabtu mulai Kontraksi

Iklan-iklan mengenai penyelenggaraan kursus, buku-buku pelajaran bahasa Jepang, dan tenaga terampil yang menguasai bahasa Jepang, cukup banyak dimuat Asia Raya. Ini menunjukan betapa penguasaan bahas Jepang, sangat dianjurkan pihak pemerintah Jepang.”

Adapun beberapa penyair yang muncul pada masa ini yaitu Usmar Ismail, Amal Hamzah, Rosihan Anwar, Idrus, Bakri Siregar Anas Ma’ruf, M.S Ashar, Maria Amin, Nursjamsu, dan sebagainya.

Baca Juga: Bill Gates Berikan Pesan Kepada Joe Biden Lewat Cuitannya

Di antara mereka kemudian beberapa menjadi tokoh besar seperti Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, Idrus, dan H.B. Jassin (Yudiono, 2010:9). Karya-karya muncul sebagai sastra propaganda seperti karya Nur Sutan Iskandar yang berjudul Cinta Tanah Air (1949) dan Putri Pahlawan Indonesia, Karim Halim dengan judul Palawija.

Pemenang sayembara buatan Jepang Rosihan Anwar dengan judul Radio Masyarakat, F.A. Tamboenan dengan judul Poesaka Sejati dari Seorang Ayah, dan sebagainya.***

Editor: Anas Bukhori

Tags

Terkini

Terpopuler