5 Puisi Sarat Makna untuk Memperingati Kemerdekaan Indonesia, Cocok untuk Lomba 17 Agustus

- 13 Agustus 2022, 20:30 WIB
5 Puisi Sarat Makna untuk Memperingati Kemerdekaan Indonesia, Cocok untuk Lomba 17 Agustus
5 Puisi Sarat Makna untuk Memperingati Kemerdekaan Indonesia, Cocok untuk Lomba 17 Agustus /Nile/ Pixabay

UTARA TIMESHari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus tinggal menghitung hari. Berbagai lomba mulai diadakan untuk memperingatinya, salah satunya mengenai puisi kemerdekaan.

Sejumlah anak bangsa menulis puisi untuk memuji dan menjaga semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus itu.

Berikut puisi-puisi sarat makna dan sangat tepat dibacakan dalam acara-acara peringatan kemerdekaan Indonesia.

Adapun para penyair berikut tidak semuanya lahir di zaman yang sama. Masing-masing menuliskan puisi dengan semangat yang mencerminkan situasi Indonesia pada zamannya.

Baca Juga: Puisi 17 Agustus 2022 untuk Memperingati HUT RI ke-77 dengan Penuh Semangat

Rieke Diah Pitaloka adalah aktris, aktivis, penyair, dan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan.

KH Mustofa Bisri adalah pelukis, penyair, pengasuh Pondok Pesantren Roudhotut Tholibin Rembang, serta anggota PBNU.

Taufiq Ismail adalah penyair dan sastrawan asal Minangkabau. Ia merupakan salah satu pendiri Taman Ismail Marzuki di Cikini Jakarta.

WS Rendra dijuluki Penyair Burung Merak. Nama panjangnya Willibrordus Surendra Broto Rendra. Ia lahir di Solo, 7 November 1935.

Sanusi Pane adalah tokoh penggerak bahasa persatuan Indonesia. Pada tahun 1938 Sanusi Pane mendirikan Institut Bahasa Indonesia.

Baca Juga: Puisi Kemerdekaan 'HUT RI ke-77' untuk Semarakan 17 Agustus 2022 Dijamin Menyentuh Hati

Nama Bahasa Indonesia yang awalnya Bahasa Melayu juga merupakan ide Sanusi Pane dalam kongres I Pemuda tahun 1926.

Bendera
(Oleh: Rieke Diah Pitaloka)

Dulu, satu robekan kecil ditambal nenek,
Ia berkibar di sebilah bambu di halaman rumah;
Kakek menatap haru, matanya berkaca-kaca
Teringat sahabat yang mati saat Romusha

Dulu, benang yang terbuka ibu jahit
Dengan warna sama,
Ia berkibar di tiang besi di halaman rumah;
Ayah tersenyum puas, matanya berbinar
Teringat pidato Bung Karno di Lapangan IKADA

Sekarang, ia selalu berkibar di halaman sebuah
Gedung putih, tak ada tambalan nenek dan
Jahitan ibu
Di seberang jalan:

Sekelompok anak muda membawa
Poster dan spanduk,
Sekompi pasukan siaga menghadang

Kita tak tahu lagi buat siapa, buat apa ia berkibar

Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu
(Oleh: KH Mustofa Bisri)

Aku masih sangat hafal nyanyian itu
Nyanyian kesayangan dan hafalan kita bersama
Sejak kita di sekolah rakyat
Kita berebut lebih dulu menyanyikannya
Ketika anak-anak disuruh menyanyi di depan kelas satu per satu
Aku masih ingat betapa kita gembira
Saat guru kita mengajak menyanyikan lagu itu bersama-sama

Sudah lama sekali, pergaulan sudah tidak seakrab dulu
Masing-masing sudah terseret kepentingan sendiri
Atau tersihir pesona dunia, dan kau kini entah di mana
Tapi aku masih sangat hafal nyanyian itu, Sayang
Hari ini ingin sekali aku menyanyikannya kembali bersamamu

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata

Aku merindukan rasa haru dan iba
Di tengah kobaran kebencian dan dendam
Serta maraknya rasa tega
Hingga kini ada saja yang mengubah lirik lagu kesayangan kita itu
Dan menyanyikannya dengan nada sendu

Indonesia air mata kita
Bahagia menjadi nestapa
Indonesia kini tiba-tiba
Slalu dihina-hina bangsa
Di sana banyak orang lupa
Dibuai kepentingan dunia
Tempat bertarung berebut kuasa
Sampai entah kapan akhirnya

Sayang, di manakah kini kau
Mungkinkah kita bisa menyanyi bersama lagi
Lagu kesayangan kita itu dengan akrab seperti dulu?

Bukit Biru, Bukit Kelu
(Oleh: Taufiq Ismail)

Adalah hujan dalam kabut yang ungu

Turun sepanjang gunung dan bukit biru
Ketika kota cahaya dan di mana bertemu
Awan putihyang menghinggapi cemaraku

Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku

Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba
Padang hilalang dan bukit membatu
Tanah airku

Lagu Seorang Gerilya
(Oleh: WS Rendra)

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu.

Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata.

 

Teratai, Kepada Ki Hajar Dewantara
(Oleh: Sanusi Pane)

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, laksmi mengarang

Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulis
Teruslah, o Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminati
Engkau turut menjaga zaman

Demikian puisi sarat makna dari lima penyair Tanah Air. Kelima puisi ini sangat tepat dibacakan dalam acara-acara peringatan kemerdekaan Indonesia.***

Editor: Anas Bukhori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah