UTARA TIMES- (11/11) Pantun merupakan salah satu warisan budaya nusantara yang memiliki sifat dan keunikan tersendiri. Ia mampu hadir dalam situasi atau kondisi yang bagaimana pun dan dengan tujuan apa pun.
Misal saja pantun mampu terselip dalam suasana formal seperti pidato, khutbah, ceramah atau juga bisa dinikmati dalam situasi perbincangan lelucon sederhana di warung kopi sehingga relatif dapat di gunakan di mana saja.
Baca Juga: Kapan 11.11 Mulai Muncul? Cek Disini
Baca Juga: Candi Borobudur Ditutup Terpal, BKB: Sebagai Upaya Preventif dan Antisipasi Erupsi Merapi
Pantun tidak terikat oleh batas sosial, waktu, usia, etnik, agama, dan sebagainya. Kesederhanaannya tersebut memiliki nilai-nilai yang dekat dengan masyarakat.
Pantun dijadikan sebagai media penyampai nasihat, kritik, moral, yang dibalut dengan estetika pola persajakan a-b-a-b dan bahkan bisa dipadukan dengan iringan musik sehingga menjadi sebuah nyanyian.
Istilah pantun di berbagai daerah dikenal dengan sebutan lain. Misal saja pada masyarakat Jawa istilah dengan pola seperti pantun dikenal sebagai parikan, masyarakat Sunda mengenal dengan sisindiran, di Madura dikenal Paparegan, di Bali Wewangsalan, dan sebagainya.
Baca Juga: Rekomendasi Mobil bekas Irit dibawah Harga 80 Jutaan untuk Keluarga kecil Pasangan baru