Asal Muasal Lahirnya Balai Pustaka, Penerbit Superior di Zamannya

6 November 2020, 15:51 WIB
Balai pustaka /Jakarta.go.id /

 

UTARA TIMES- (6/11) Pada paruh kedua abad ke-19, aktivitas kesusastraan di Hindia-Belanda tengah mengalami pasang naik.

Beredarnya karya-karya penulis Tionghoa semakin muncul ke permukaan, terutama setelah media massa berupa surat kabar mulai menjadi komoditas yang menguntungkan mereka. 

Keluarga peranakan Tionghoa yang umumnya belum betul-betul menguasai bahasa Melayu diuntungkan dengan kehadiran surat kabar berbahasa Melayu.

Baca Juga: Pendakian Arjuno-Welirang di Tutup Kembali

Mereka yang merupakan golongan menengah ke atas biasanya mendatangkan seorang guru les yang khusus mengajari bahasa Melayu, dan surat kabar tersebut dapat menjadi penunjang dalam mempelajari bahasa yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia itu.

Selain itu, kehadiran surat kabar tentunya memberikan ruang yang lebih signifikan bagi para penulis Tionghoa untuk menerbitkan karyanya.

Inilah yang kemudian menjadi alasan bagi peranakan Tionghoa untuk membuat surat kabar, majalah, dan penerbitan sendiri.

Baca Juga: Rencanakan Sekolah Tatap Muka Kembali, Begini Kata Nadiem Makarim

Perlahan tapi pasti, semarak penerbitan karya sastra kian mendapat perhatian.

Pengarang-pengarang baru mulai bermunculan. Di sisi lain, hal tersebut tampaknya bukan pemandangan yang indah bagi kaum kolonial.

Derasnya pendistribusian karangan-karangan dari peranakan Tionghoa maupun bumiputra membuat pemerintah Belanda cemas.

Baca Juga: Pastikan Tujuan Saat Memulai Bisnis

Mereka mencurigai muatan-muatan konten yang terkandung dalam bacaan yang mudah didapat masyarakat dari kelas sosial manapun itu.

Pasalnya, memang bacaan-bacaan yang diterbitkan oleh penerbit partikelir itu dihargai cukup murah, mulai dari F. 0,50 sampai F. 2,50 per jilid cerita bersambung. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 23)

Karangan-karangan yang betul-betul mengandung muatan yang tidak diingankan Belanda memang turut beredar kala itu.

Para pengarangnya adalah seorang bumiputra yang menjadi pemimpin gerakan, seperti Semaoen, Musso, dan Mas Marco Kartodikromo. 

Baca Juga: iPhone 12 Mini Lebih lambat di charger, berikut Ini kendala dan cara mengatasinya

Karya yang mereka tawarkan adalah karya-karya yang menggugah semangat nasionalisme rakyat Hindia. Hal yang tidak ditemui dalam karya sastra dalam kurun waktu yang sangat lama, bahkan dalam karya-karya penulis Tionghoa sekalipun.

Baca Juga: Sidang Vanessa Angel Sempat Diskors Karena Adanya Penyerangan

Pemerintah kolonial Belanda menindak tegas fenomena tersebut. Oleh pihaknya, karangan-karangan itu dilabeli dengan sebutan 'bacaan liar' dan membubuhi keterangan “saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator, dan bacaan liar.”

Sejak saat itulah, tepatnya pada 14 September 1908, pemerintah kolonial Belanda membentuk Commissie voor de Inlandsce School en Volksectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.

Sembilan tahun kemudian, Pada 22 September 1917, komisi ini berganti nama menjadi Balai Pustaka.***

Editor: Anas Bukhori

Tags

Terkini

Terpopuler