Perlahan tapi pasti, semarak penerbitan karya sastra kian mendapat perhatian.
Pengarang-pengarang baru mulai bermunculan. Di sisi lain, hal tersebut tampaknya bukan pemandangan yang indah bagi kaum kolonial.
Derasnya pendistribusian karangan-karangan dari peranakan Tionghoa maupun bumiputra membuat pemerintah Belanda cemas.
Baca Juga: Pastikan Tujuan Saat Memulai Bisnis
Mereka mencurigai muatan-muatan konten yang terkandung dalam bacaan yang mudah didapat masyarakat dari kelas sosial manapun itu.
Pasalnya, memang bacaan-bacaan yang diterbitkan oleh penerbit partikelir itu dihargai cukup murah, mulai dari F. 0,50 sampai F. 2,50 per jilid cerita bersambung. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 23)
Karangan-karangan yang betul-betul mengandung muatan yang tidak diingankan Belanda memang turut beredar kala itu.
Para pengarangnya adalah seorang bumiputra yang menjadi pemimpin gerakan, seperti Semaoen, Musso, dan Mas Marco Kartodikromo.
Baca Juga: iPhone 12 Mini Lebih lambat di charger, berikut Ini kendala dan cara mengatasinya
Karya yang mereka tawarkan adalah karya-karya yang menggugah semangat nasionalisme rakyat Hindia. Hal yang tidak ditemui dalam karya sastra dalam kurun waktu yang sangat lama, bahkan dalam karya-karya penulis Tionghoa sekalipun.