Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
“Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu” (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu bukanya ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong ha; yang gak masuk akal begini)
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur. Saat itu, Nur mengatakanya. “Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku” (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
“Masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari’ne nang dalan mau” (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)
“Astaghfirullah” kata Widya tidak percaya. Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
Benar kata ibunya tempo hari. “Banyu semilir mlayu nang etan,” (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur
Baca Juga: Sosok Sengarturih dan Banarogoh Pada Santet Sewu Dino, Pembunuh Kejam Keluarga Kuncoro