Misi Mendalam Zionisme, Diaspora Gerakan Politik Merebut Palestina sebagai Tanah Air

13 November 2020, 15:30 WIB
Seorang pria Yahudi ortodoks membaca sebuah kitab suci di sebuah pemakaman dekat Kubah Masjid Batu di kompleks Masjid Al Aqsa di Kota Tua Yerusalem, Kamis, 7 Desember 2017. /AP Foto

 

 

UTARA TIMESZionism Sangat berarti bagi kaum Yahudi khususnya Theodor Herzl sebagai tokoh pendiri Israel. Istilah tersebut sudah tak asing lagi di auricula para pengamat sejarah perseteruan Israel dan Palestina.

Zionisme berasal dari kata Ibrani yaitu “zion” yang berarti batu karang. Istilah yang dimaksudkan adalah batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama “Zion”, yang terletak di sebelah barat-daya Al-Quds (Yerusalem).

Bukit Zion ini memiliki makna penting bagi kaum Yahudi karena menurut Taurat, “Al-Masih dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”.

Baca Juga: Jabar Gandeg Dian Sastro Jadi Duta Patriot Desa

Baca Juga: Kurs Rupiah Melemah Pada Hari Ini hingga Rp 14.175 Per dollar

Zion di kemudian hari diidentikkan dengan kota suci Yerusalem itu sendiri. Kini zionisme tidak lagi hanya sekadar kepercayaan agama Yahudi saja, Maulani (2002) mengatakan bahwa zionisme memiliki misi politik tersendiri, yaitu

suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi, dengan Yerusalem sebagai ibukota negaranya”.

Hal itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan “Zionisme Internasional” yang pertama berdiri di New York dua bulan sebelum kemerdekaan US dideklarasikan di Philadelphia pada tanggal 1 Mei 1776.

Gerakan itu bermula dari gagasan utama untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina oleh Yahuda Al-Kalai (1798-1878).

Baca Juga: Pengembangan Labuan Bajo Dari CHSE Kedepan Menuju Wisata Berbasis Teknologi Digital

Baca Juga: Usai Wamil, Taemin SHINee Berikan Banyak Kejutan Kepada Para Penggemar

Gagasan tersebut mendapat dukungan dari Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui penerbitan bukunya dalam bahasa Ibrani yang berisi mengenai kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, dengan judul ‘Derishat Zion’ (1826).

Hal itu diperkuat dengan tulisan Moses Hess yang mengandung pemikiran tentang solusi masalah bangsa Yahudi di Eropa dengan migrasi Yahudi ke Palestina yang dirangkum dalam satu buku berjudul “Roma and Jerusalem” (1862).

Buku ini mengawali konspirasi pemikiran awal kerja sama Yahudi dengan Barat-Kristen untuk menghadapi bangsa-bangsa Asia pada umumnya dan dunia Islam khususnya.

Menurut Hess, kehadiran bangsa Yahudi ke Palestina dapat membantu melancarkan “misi suci orang kulit putih untuk mengadabkan bangsa-bangsa Asia yang masih primitif dan memperkenalkan peradaban Barat kepada mereka”.

Baca Juga: RUU Minuman Beralkohol, Peminum Minimal 21 Tahun Dan Wajib Menunjukkan Kartu Identita Saat Membeli

Baca Juga: Menggemaskan! Seperti Ini Potret Dulu dan Sekarang Anggota BTS

Pemikiran Hess tersebut mendapat dukungan dari tokoh-tokoh kolonialis Barat karena salah satu pertimbangannya adalah konfrontasi antara Eropa dengan daulah Utsmaniyah Turki di Timur Tengah.
Pelbagai macam cara dihalalkan untuk mencapai kepentingan itu. Hingga kini perseteruan tersebut masih terus bergulir.

Berita terakhir yang dilakukan oleh tentara Israel pada Kamis, 5 September 2020 adalah penghancuran rumah milik komunitas Palestina secara besar-besaran dan membabi buta di wilayah Tepi Barat.

Menurut badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hal tersebut merupakan insiden pemindahan paksa terbesar dalam empat tahun terakhir.***

Artikel ini ditulis oleh M. Kurniati Magister Universitas sebelas maret, Solo

Editor: Anas Bukhori

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler