Menakjubkan! Mengintip Sejarah Budaya di Dieng, Negeri Para Dewa

- 20 April 2021, 20:46 WIB
Komplek Candi Arjuna Dieng
Komplek Candi Arjuna Dieng /Renny T Hamzah

UTARA TIMES - Dieng yang terletak di antara dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara ini memang menyimpan sebuah pesona bagi siapa saja yang berkunjung ke sana.

Bukan saja karena keindahan alam Dieng yang mempesona atau karena banyaknya tempat wisata yang memiliki angle yang indah sehingga membuat masyarakat yang berkunjung selalu ingin mengabadikan dalam jepretan foto.

Bukan juga karena udara di Dieng yang dingin karena secara geografis dikelilingi pegunungan, melainkan lebih dari itu.

Baca Juga: Problematika ISBN Kamus Sejarah Indonesia, Hilmar: Tidak Pernah Diterbitkan Secara Resmi

Dieng menyimpan banyak pesona karena memiliki kekayaan warisan budaya, baik warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa cagar budaya maupun warisan budaya tak benda, seperti tradisi, kuliner, dan seni pertunjukan.

Tentu seseorang tidak ingin sekedar mengaguminya tanpa upaya menjaga kelestarian tinggalan budaya Dieng dan ekosistemnya. 

Sebab, jika seseorang hanya diam terpaku mengagumi tanpa upaya ikut melindungi warisan budaya dan ekosistemnya, secara perlahan tinggalan warisan budaya tersebut lama kelamaan akan hancur ataupun musnah seiring perkembangan zaman dan pesatnya pembangunan atas nama modernisasi.

Dataran tinggi Dieng merupakan salah satu anugerah Sang Maha Kuasa yang menyimpan banyak cerita dan kekaguman.

Berada di ketinggian 2000 m diatas permukaan laut suhu dingin merupakan teman yang akrab masyarakat Dieng.

Baca Juga: Nama Pendiri NU Hilang dari Kamus Sejarah Indonesia, NU Circle: Kami Tersinggung dan Kecewa

Pada bulan Juni sampai Agustus, suhu di Dieng bahkan bisa mencapai titik minus dibawah 0° celcius.

Suhu ekstrim ini pun menciptakan budaya “Genenan” atau berkumpul dekat sumber api saat udara dingin.

Tradisi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga di Dieng sejak zaman dahulu, mereka mengelilingi tunggu dan bercerita tentang berbagai hal semabari minum kopi atau teh untuk menghangatkan badan.

Akan tetapi, tradisi ini mulai ditinggalkan sejak adanya perubahan budaya masyarakat karena adanya pengaruh modernisai.

Dieng sesungguhnya adalah “Kaldera” dengan gunung Sindoro-Sumbing dan Prau sebagai tepinya.

Baca Juga: Sinopsis Film Criminal Activities Malam Ini di Bioskop Trans TV Pukul 23:30 WIB, Tentang Investasi Berisiko

Selain itu, terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya material vulkanik. Keadaan ini tentunya sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu.

Tercatat pada tahun 1979 Kawah Sinila erupsi, peristiwa ini memicu kawah timbang mengeluarkan gas beracun yang membunuh 149 orang warga desa Kepucukan Batur Banjarnegara.

Pada masa sekarang ini, Desa Kepucukan sudah menjadi tanah perkebunan, hanya makam-makam lama korban tragedi sinilah yang menjadi pengingat bahwa pernah ada kejadian yang mengerikan pada masa lalu di negeri para dewa ini.

Baca Juga: Sinopsis Film Peppermint Malam Ini di Bioskop Trans TV Pukul 21:30 WIB, Aksi Balas Dendam Riley North

Dalam perjalanan waktu, narasi tentang budaya dan ritual masyarakat Dieng banyak mengikuti kejadian alam tanah Dieng.

Ritual ini rutin diadakan pada bulan suro di setiap tahunnya. Ritual ini dimaksudkan untuk memohon kepada sang maha kuasa agar masyarakat Dieng dijauhkan dari segala bencana dan wujud syukur atas segala yang diberikan.

Berbagai macam kesenian tradisional dipertunjukan pada saat bulan Suro, beberapa diantaranya bahkan berumur sudah sangat lama.

Baca Juga: Berikut Tahapan Proses Seleksi PPPK 2021 Guru Agama dan Madrasah dari Kemenag

“Baritan” adalah salah satu acara tahunan yang diadakan oleh masyarakat dataran tinggi Dieng.

Kata “Baritan merupakan singkatan dari “Mubrake peri lan setan” yang artinya pembubaran para setan.

Ini adalah ritual yang ditunjukan agar masyarakat desa Dieng terhindar dari balak dan bencana, acara ini biasanya digelar pada penutupan bulan Suro.

Di dalam rangkain “Baritan” biasanya ada rangkaian seperti Lengger dan Sepin. Berasal dari kata kata “Eling yo ngger” lengger pada masa lalu sering dikonotasikan pada hal negatif yang berhubungan dengan kejadian.

Baca Juga: Kajian Ramadhan 2021: Tips Dari Kiai Husein Ilyas Agar Tidak Galau Mencari Jodoh

Sunan Kalijaga adalah yang merubah kesan negatif dari tarian ini dengan dengan menyisipkan dakwah di dalamya. Lengger sendiri konon sudah ada sejak zaman Kerajaan Kediri. ***

Editor: Rosma Nur Riana

Sumber: Perlindungan Kebudayaan


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah