Lupa Cara Bikin Pantun ? Berikut Ini Cara Buat Pantun Pecah!

- 11 November 2020, 16:51 WIB
Ilustrasi membaca resep buat pantun
Ilustrasi membaca resep buat pantun /Pixabay

 


UTARA TIMES- (11/11) Pantun merupakan salah satu warisan budaya nusantara yang memiliki sifat dan keunikan tersendiri. Ia mampu hadir dalam situasi atau kondisi yang bagaimana pun dan dengan tujuan apa pun.

Misal saja pantun mampu terselip dalam suasana formal seperti pidato, khutbah, ceramah atau juga bisa dinikmati dalam situasi perbincangan lelucon sederhana di warung kopi sehingga relatif dapat di gunakan di mana saja.

Baca Juga: Kapan 11.11 Mulai Muncul? Cek Disini

Baca Juga: Candi Borobudur Ditutup Terpal, BKB: Sebagai Upaya Preventif dan Antisipasi Erupsi Merapi

Pantun tidak terikat oleh batas sosial, waktu, usia, etnik, agama, dan sebagainya. Kesederhanaannya tersebut memiliki nilai-nilai yang dekat dengan masyarakat.

Pantun dijadikan sebagai media penyampai nasihat, kritik, moral, yang dibalut dengan estetika pola persajakan a-b-a-b dan bahkan bisa dipadukan dengan iringan musik sehingga menjadi sebuah nyanyian.

Istilah pantun di berbagai daerah dikenal dengan sebutan lain. Misal saja pada masyarakat Jawa istilah dengan pola seperti pantun dikenal sebagai parikan, masyarakat Sunda mengenal dengan sisindiran, di Madura dikenal Paparegan, di Bali Wewangsalan, dan sebagainya.

Baca Juga: Rekomendasi Mobil bekas Irit dibawah Harga 80 Jutaan untuk Keluarga kecil Pasangan baru

Baca Juga: Bandboy K-Pop BTS Pecahkan Rekor Penonton Lewat Lagu Dynamite

Maman(2016:70) mengatakan pantun sesungguhnya telah menjadi bagian dari perpuisian Nusantara dengan pola persajakan a-b-ab, terdiri atas sampiran dan isi, yang terdapat hampir di seluruh tempat Nusantara.

Secara struktur pantun memiliki konsepnya tersendiri secara universal walaupun dengan rumusan yang berbeda menurut Maman (2016:75) yaitu:

(1) terdiri atas empat larik;

(2) dua larik pertama berupa sampiran dan dua larik berikutnya adalah isi;

(3) berpola rima a-b-a-b;

(4) jumlah kata setiap larik terdiri dari lima sampai sembilan kata;

(5) dan terkelompok dalam beberapa tema.

Baca Juga: 300 Nelayan di Palu Mendapat Bantuan Konverter Kit dari Kementerian ESDM

Baca Juga: Loker Bulan November 2020, Dithankam Bappenas RI cari Kandidat untuk Tenaga Subtansi, segera cek!

Namun, dalam beberapa hal oleh masyarakat modern kita, terkadang bentuk pantun yang dibuat tidak sesuai dengan konvensi yang ada. Hal tersebut kerap kali terjadi dalam berbagai macam media hiburan.

Contoh pola berikut yang bukan merupakan pantun namun sering dianggap sebagai pantun “Buah Nangka, Buah Kedondong, godain aku dong” atau “ikan hiu makan tomat, I love you so much”.

Baca Juga: Sandwich Makanan Praktis Sebagai Bekal Setiap Saat, Begini Asal Mulanya

Kedua contoh teks tersebut memang menjadi sebuah gurauan namun orang kebanyakan menganggap itu sebuah pantun sehingga beramai-ramai membuat pola seperti itu.

Padahal, filosofi pantun sebagai warisan budaya memiliki khas dan menjadi representasi karakteristik kelompok masyarakat penggunanya. Misal dalam pantun Betawi, isi pantunnya menggambarkan kesan ceplas-ceplos, terbuka, dan egaliter pada orang Betawi.

Baca Juga: Jokowi Sampaikan Masih Mengupayakan Vaksin Merah Putih dan GeNose tangani Covid-19

Sampiran yang digunakan oleh pantun dalam beberapa daerah di Nusantara juga memiliki hubungan semantis dengan larik isi yang disampaikan sehingga terkesan tidak asal membuat.

Kesalahan demikian terjadi karena begitu dekatnya pantun dengan kehidupan bermasyarakat kita sehingga hal tersebut kurang ditelaah lebih jauh mengenai fungsi, peran, dan estetikanya.

Baca Juga: Kemenkop UMKM Dorong Digitalisasi Pasar Tradisional

Namun, warisan budaya pantun perlu kita banggakan sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya yang luar biasa.***

 

Editor: Anas Bukhori

Sumber: berbagai sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x