Kisah Perseteruan Dua kelompok Kebudayaan Pasca Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945

- 12 November 2020, 16:58 WIB
Ilustrasi pahlawan.
Ilustrasi pahlawan. /Facebook/Kemensos RI

 

UTARA TIMES- Kebudayaan pasca kembali menemui pertarungannya. Saat itu dua kubu saling berhadapan, yakni Gelanggang Seniman Merdeka dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). 

Keduanya berselisih ideologi, di mana Gelanggang berideologi Humanisme Universal, sedangkan Lekra berideologi Realisme Sosialis.

Momen setelah kemerdekaan memang penuh gejolak, karena di masa transisi seperti itu situasi bangsa Indonesia belum sepenuhnya pulih. Sementara hal yang dicita-citakan begitu kemerdekaan tercapai adalah revolusi di segala lini, termasuk kebudayaan.

Baca Juga: Wabah ini Juga Pernah Ke Indonesia, Bahkan Sebelum Indonesia Ada

Baca Juga: Peneliti FITRA Berikan Komentar Atas Dua Kepala Daerah yang Diamankan KPK

Para aktor kebudayaan mulai berebut panggung, berusaha menyuarakan konsepnya mengenai revolusi yang dimaksud.

Di kubu Gelanggang, pada masa itu boleh dibilang terdiri dari orang-orang yang “kuat”. Terutama karena keberadaan Chairil Anwar yang membawa semangat internasionalisme. Ia pula yang menjadi motor perkumpulan tersebut, dengan ditemani Asrul Sani dan Rivai Apin.

Gelanggang memiliki pandangan terhadap arah kebudayaan Indonesia pascamerdeka, yang ditulis dalam Surat Kepercayaan Gelanggang pada tahun 1950. Adapun kemudian Lekra tampil dan berusaha menghalau Gelanggang adalah karena pandangan tersebut dianggap salah kaprah.

Baca Juga: Prajurit Ditahan Gegara Nyanyi Menyambut Kedatangan Habib Rizieq, TNI AU Ingatkan Aturan Bermedsos

Dalam SKG itu tertulis:
Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat… Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan (Supartono, 2000: 94).

Bagi Gelanggang, kebudayaan lama mengingatkan akan kebudayaan yang tertindas, tidak bernyawa. Maka dari itu, mereka hendak menciptakan sendiri kebudayaan baru dari hasil interaksi dengan realitas global.
Di pihak lain, Lekra melakukan hal yang sama, yakni menerbitkan pandangannya dalam Mukadimah Lekra di tahun yang sama pula.

Baca Juga: Sering Diabaikan, Ini 7 Efek Buruk Penggunaan Tusuk Gigi

Di sana tertulis:
Demikian pula kebudayaan Indonesia kuno tidak akan dibuang sepenuhnya, tetapi juga tidak ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru yaitu kebudayaan demokrasi rakyat… Untuk ini kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan diri dan menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan-kolonial, kebudayaan kuno, yang reaksioner itu (Supartono, 2000: 94).

Baca Juga: Drama Pemecatan Johnny Depp, Warner Bros Carikan Pengganti

Sudah jelas bahwa Lekra menginginkan kebudayaan Indonesia harus berpihak pada rakyat. Produk-produk kebudayaan harus mengusung kepedulian terhadap rakyat. Ini yang menjadi titik tekan Lekra, di mana itu tidak dilakukan Gelanggang.

Kebaruan yang didengungkan Chairil dan kawan-kawan dianggap kurang memerhatikan rakyat Indonesia, terutama kaum buruh dan tani.

Baca Juga: Tanaman Herbal Ini Cocok Ditanam di Sekitar Rumahmu

Selain itu, kelompok ini juga terkesan ingin berjalan di koridornya sendiri, tidak beriringan dengan lazimnya orang-orang di zaman kemerdekaan, karena inilah seniman Gelanggang sering dicap individualis.

Jika lazimnya semua kalangan bersatu demi memantapkan identitas ke-Indonesia-an, SKG justru muncul dan mengaburkan itu semua. Mereka mengaburkan batas-batas Timur dan Barat, yang mana pada saat itu Barat diartikan sebagai penjajah dan Timur sebagai yang dijajah.

Baca Juga: Minyak Zaitun Cara Ampuh atasi Masalah Rambut dan Kulit Kepala Bagi Wanita Berhijab Setiap Hari

Walaupun pertarungan dua kubu ini hanya berlangsung singkat, akan tetapi dampaknya cukup signifikan. Lekra mampu bertahan dan memegang dominasi di panggung kebudayaan setelah Gelanggang redup karena ditinggal aktor utamanya, Chairil Anwar.

Baru di paruh pertama dekade 60'-an, titisan Gelanggang muncul kembali dengan konsepsi kebudayaan yang lebih baru, bernama Manifes Kebudayaan.***

Editor: Anas Bukhori

Sumber: berbagai sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x