Belajar Dari Rumah, Mesti Perhatikan Kesehatan Mental Siswa

31 Oktober 2020, 07:05 WIB
Ilustrasi belajar dari rumah. /PEXELS/ August de Richelieu

 

UTARA TIMES - Semenjak pandemi virus corona berlangsung dilakukan pembatasan diberbagai kegiatan, hal ini bertujuan untuk menahan penyebaran virus.

Salah satu sektor yang terdampak adalah pendidikan, dimana sekolah harus menutup pembelajaran tatap muka secara langsung dengan menggantinya belajar dari rumah (BDR).

Namun dari kegiatan belajar dari rumah (BDR) kerap kali para siswa mengalami depresi, disebabkan dari tugas yang menumpuk.

Baca Juga: Pendapatan dari 5 Perusahaan Dunia, Amazon Raup Untung

Sehingga pemerintah perlu merancang pencegahan masalah mental yang bisa timbul dari siswa selama belajar dari rumah (BDR) selama masa pandemi Covid-19. Ini disebabkan karena kasus depresi terkait BDR dari siswa masih kerap timbul.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan hal tersebut terkait adanya kasus seorang  siswa di salah satu SMP di Tarakan yang wafat karena diduga stres BDR.
Siswa itu ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi tempat tinggalnya.

Baca Juga: Penggemar K-POP Pasti Tak sabar, Berikut Tanggal Tayang Film Terbaru BTS di Indonesia

"Tewasnya siswa yang berusia 15 tahun tersebut mengejutkan kita semua. Apalagi pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk, belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru. Padahal syarat mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas tersebut," katanya, Jumat 30 Oktober 2020 dikutip utara times dari pikiran rakyat.com

Menurut Retno, kasus bunuh diri bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan adanya akumulasi dan rentetan panjang yang dialami individu tersebut. Hal itu membuat dia tidak kuat menanggung beban sendirian.

"Sebenarnya, kondisi pembelajaran jarak jauh (PJJ) sudah berlangsung lama. Artinya, sudah banyak yang mulai bisa beradaptasi. Namun, ada juga yang justru makin terbebani. Salah satunya adalah siswa SMP di di Tarakan, Kalimantan Utara," katanya.

Baca Juga: BRI Berdayakan UMKM Hingga Siapkan Desa BRILian Untuk Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan

Retno mengaku, mendengarkan langsung  penjelasan rinci dari ibunda korban dalam suatu dialog interaktif di salah satu TV Nasional pada 29 oktober 2020 pukul 6.45 sampai dengan 07.30 wib.

Menurutnya, ibunda korban menjelaskan siswa tersebut sebagai sosok pendiam dan memiliki masalah  dengan pembelajaran daring.

Anak korban lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka, karena PJJ daring tidak disertai penjelasan guru, hanya memberi tuga-tugas saja yang berat dan sulit dikerjakan.

Baca Juga: Jabar Siapkan Platform Pendidikan

Retno menambahkan, ibu korban menjelaskan bahwa saat PJJ fase pertama, kesulitan PJJ masih bisa diatasi karena materi pembelajaran sudah sempat diterima para siswa selama 9 bulan dan saat PJJ sudah menjelang ujian akhir tahun.

Ketika PJJ fase kedua pada tahun ajaran baru (Juli, 2020), saat naik ke kelas IX (sembilan), semua materi baru dan penjelasan materi dari guru sangat minim, sehingga banyak soal dan penugasan yang sulit dikerjakan atau diselesaikan para siswa.

Akhirnya tugasnya menumpuk hingga jelang ujian akhir semester ganjil pada November 2020 nanti.

Baca Juga: Pembelajaran Jarak Jauh, Kemenag Siapkan Bantuan Rp. 1,178 untuk Pendidikan Agama

Pada 26 Oktober 2020, kata Retno, ibu korban mengaku menerima surat dari pihak sekolah yang isinya menyampaikan bahwa anak korban memiliki sejumlah tagihan tugas dari 11 mata pelajaran.

Rata-rata jumlah tagihan tugas yang belum dikerjakan anak korban adalah 3-5 tugas per mata pelajaran.
"Jadi bisa dibayangkan beratnya tugas yang harus diselesaikan ananda dalam waktu dekat, kalau rata-rata 3 mata pelajaran saja, ada 33 tugas  yang menumpuk selama semester ganjil ini," katanya.

Retno menuturkan, KPAI mendorong Kemdikbud RI, Kementerian Agama RI, Dinas-dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada fase kedua yang sudah berjalan selama 4 bulan.

Baca Juga: Saran Psikolog untuk Edukasi Anak Tentang Pencegahan Covid-19

Tidak ada kasus bunuh diri siswa, bukan berarti sekolah atau daerah lain baik-baik saja melaksanakan PJJ.

"Bisa jadi kasus yang mecuat ke publik merupakan gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis anak, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak," katanya.*** 

 

Artikel ini pernah tayang di pikiran-rakyat.com dengan judul https: https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01888732/perhatikan-kesehatan-mental-siswa-saat-belajar-dari-rumah

Editor: Abdul Hapid Badrudin

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler