Dari Sastawan Hingga Menjadi Pahlawan, Hanya Puisi yang Menjadi Senjata Pertempuran

- 10 November 2020, 06:49 WIB
Tugu Pahlawan di Surabaya
Tugu Pahlawan di Surabaya /batiqa.com

Menatap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya
Bernafas kita pemanjangkan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatera, di situ bangsa
Di mana Perca, di sana bahasa

Kutipan di atas merupakan penggalan puisi Muh. Yamin dalam sajaknya yang bejudul “Bahasa, Bangsa”. Ia menggambarkan pentingnya kedudukan sebuah bahasa pada suatu bangsa dan keindahan tentang tanah Sumatranya.

Baca Juga: Akan Revolusi Akhlak, Mahfud MD; Tertib Dulu Dalam Penjemputan

Baca Juga: Demi Sukseskan Fungsi Pengawasan Pilkada 2020, Puan Maharani Siapkan Strategi

Namun pada puisi “Indonesia, Tumpah Darahku” salah satu baitnya tertuliskan “Bangsa Indonesia bagiku mulia, terjunjung tinggi pagi dan senja”. Sajak ini mulai membicarakan tentang cikal bakal nasionalisme pada bangsa Indonesia.


Pahlawan lain yang juga mengeluarkan karya sastra adalah Abdul Moeis. Ia salah seorang anggota Sarekat Islam zaman tersebut.

Ia lantas mendirikan Komite Bumi Putra yang bertujuan untuk melawan Belanda dalam perayaan 100 tahun kemerdekaannya saat itu serta mendesak Ratu Belanda untuk memberikan wewenang kebebasan berpolitik bagi Indonesia.

Baca Juga: Habib Rizieq Shihab Dipastikan Datang Esok Dihari Pahlawan, Para Pemimpin Bangsa Diminta Menjemput

Baca Juga: Sambut Hari Pahlawan, Warga Surabaya Diajak Miliki Karakter Kepahlawanan

Karyanya yang terkenal adalah Salah Asuhan yang menceritkan mengenai seorang pemuda yang hidup dengan kebudayaan Barat.

Halaman:

Editor: Anas Bukhori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x