Baca Juga: Misi Mendalam Zionisme, Diaspora Gerakan Politik Merebut Palestina sebagai Tanah Air
Baca Juga: Musim Hujan, Siap-Siap Beberapa penyakit Ini Menyerang, Obati Dengan Cara Herbal
Selain itu, juga akan berdampak pada kualitas bahasa itu sendiri di tengah-tengah masyarakat pembaca. Suatu karya bisa menjadi sarana indoktrinasi, dengan sadar atau tidak.
Masyarakat yang terbiasa membaca sastra dengan bahasa yang asal-asalan, misalnya, akan meniru bahasa itu di kehidupan sehari-harinya dan menjelma menjadi suatu konvensi bahasa yang baru. Ini pernah menjadi persoalan di zaman dulu, ketika bahasa Melayu sebagai embrio bahasa Indonesia, pemakaiannya dalam karya sastra dianggap enteng.
Baca Juga: Harga Emas Per 13 November 2020, Antam Dua Gram Rp1.968.000 di Pegadaian
Baca Juga: Pengembangan Labuan Bajo Dari CHSE Kedepan Menuju Wisata Berbasis Teknologi Digital
Kata Ajip Rosidi (2013: 14-15), sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatera,Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih.
Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi melainkan bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar.
Lebih lanjut Wellek dan Warren juga memaparkan mengenai sifat sastra, yakni :
Baca Juga: 5 Cara Ini Ampuh Mengusir tikus, apa saja?