Biasanya malam-malam begini, pria bungkuk itu akan berkeliling di ladang. Tangannya pasti membawa lentera dengan sumbu yang hampir habis terbakar.
Orang sinting itu juga akan memanggil nama Barito berulang-ulang. Apalagi pada malam ini, saat angin subuh mulai bertiup membuat bulu kuduk Salim kembali merinding.
Cepat-cepat Salim menaikkan sarungnya ke bahu, lantas menyusul Pak Bangka ke ladang tembakau yang panen beberapa hari lalu.
“Salim... Salim...,” panggil Pak Bangka sambil menyorotkan lenteranya pada Salim yang tampak menggigil kedidinginan. Dia menyusul pria ceking itu untuk kembali ke pematang. “Di mana Barito, Nak?” tanyanya sambil tersenyum.
“Begini, Pak,” Salim segera membuang sisa kereteknya, “Barito sudah pulang,” bisiknya lirih.
Mata Pak Bangka semakin berkilat-kilat. Senyumnya juga kian merekah.
“Ayo pulang dengan saya, Pak,” ajak Salim.
Pak Bangka mengikuti pria itu. Sedangkan Salim berjalan di depannya sambil menangis.
Hari ini Barito mati. Dia tidak dapat ke ladang untuk menjemput bapaknya yang pikun.
Pasalnya bocah tolol itu lebih memilih sumpahnya. Dia ikut berdemo dengan papan ‘Kami para Pemuda Bersatu untuk Kemerdekaan’.