Membina kesehatan Mental Siswa Perlu, Disaat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

- 2 November 2020, 19:15 WIB
Foto Ilustrasi Siswa Belajar saat PJJ
Foto Ilustrasi Siswa Belajar saat PJJ /Ghassan Faikar Dedi/PRMN Majalengka

UTARA TIMES - Pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat ini sudah memasuki fase kedua, hal ini menimbulkan pengaruh pada sisi psikologis peserta didik maupun pengajarnya.

Dewan Pakar FSGI Retno Listiyarti mengatakan, dari hasil pemantauan terhadap pelaksanaan PJJ Fase pertama yang hanya berlangsung dari Maret-Juni 2020, peserta didik cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis karena pembelajaran tatap muka (PTM) sempat dilakukan selama 9 bulan.

Baca Juga: UMP Jabar Tidak Naik, Simak Alasannya

Selain itu, guru mata pelajaran, wali kelas dan teman-teman satu kelasnya masih sama dan mereka sudah sempat komunikasi aktif sebelumnya, sehingga sudah saling mengenal dan bisa saling membantu.

Akan tetapi, hasil pemantauan pada PJJ Fase kedua, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis, sehingga berpengaruh pada kesehatan mental seorang anak/remaja
"Karena pada fase 2 ini, anak naik kelas dengan situasi yang berubah, wali kelasnya ganti, guru mata pelajarannya berbeda, dan kemungkinan besar kawan—kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya. Sementara peserta didik belum melakukan pembelajaran tatap muka sejak naik kelas,” ujar Retno, Minggu 1 November 2020 dilansir dari pikiran rakyat.com.

Baca Juga: Buruan daftar, Kartu Prakerja Sudah dibuka Gelombang 11, Pastikan Syarat daftar berikut ini

Retno menambahkan, pergantian kelas dengan suasana yang baru tanpa tatap muka, membuat anak-anak sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi dan bertanya.

Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung anak sendiri. Contohnya, jika anak tersebut tidak berani bertanya kepada gurunya.

Menurut Retno, masalah ketidakmerataan akses terhadap fasilitas pendukung untuk pembelajaran daring maupun luring yang dialami pada anak yang sudah masuk usia sekolah, berdampaknya peserta didik harus mempunyai sistem belajar sendiri.

Baca Juga: Pakar Sebut Aksi Demonstrasi Perpanjang Masa Pandemi Covid-19

Akibatnya, ada anak yang tidak bisa mengatur waktu belajar, ada anak yang kesulitan memahami pelajaran, bahkan ada anak tidak memahami instruksi guru.

Ia mengaku, tidak memungkiri bila pandemi ini dapat berdampak kepada aspek psikososial dari anak dan remaja.

Dampak itu di antaranya adalah perasaan bosan karena harus tinggal di rumah, khawatir tertinggal pelajaran, timbul perasaan tidak aman, merasa takut karena terkena penyakit, merindukan teman-teman, dan khawatir tentang penghasilan
orangtua.

Baca Juga: AS Kembangkan Teknologi Buatan Untuk Deteksi Batuk Karena Covid - 19

Retno mengatakan, orangtua bisa menjadi penguat anak, sekaligus bisa menjadi sumber masalah bagi anak-anaknya, misalnya munculnya kekerasan pada anak secara emosional karena tidak memiliki kesabaran mendampingi anak belajar.

Di antaranya kekerasan verbal seperti merendahkan kemampuan anak dalam belajar atau  menerapkan pola mendisiplinkan anak yang tidak tepat seperti memberikan hukuman dan sanksi yang dianggap bagi sebagian orang tua justru akan membangkitkan semangat pada anak.

"Padahal, justru sebaliknya,  menimbulkan tekanan psikologis bagi anak," katanya.
Retno menuturkan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan memiliki peran penting dalam membantu masyarakat, orang tua maupun anak untuk memahami dampak pandemi Covid-19 secara psikologis.

Baca Juga: November-Desember Harga Pangan Berpotensi Naik

"Gejala-gejala umum seperti menurunnya semangat untuk menjalankan aktivitas, mudah marah, dan cepat kehilangan konsentrasi itu memang normal namun tetap harus diperhatikan jika terjadi secara berkepanjangan," tuturnya.

Ia mengatakan, Kementerian Kesehatan dan Dinas-dinas Kesehatan di daerah harus bersinergi dengan Dinas-dinas Pendidikan Kantor Kemnterian agama di Kabupaten/kota maupun provinsi untuk  ikut bantu membina kesehatan mental peserta didik.

Upaya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam menangani isu kesehatan jiwa anak dan remaja selama masa pandemi adalah dengan membuat regulasi yang menitikberatkan arah dari setiap kebijakan pada terwujudnya masyarakat yang peduli pada kesehatan jiwa.

Baca Juga: 6 Rekomendasi Drama Korea Genre Action yang Menegangkan dan Bikin Deg-Degan!

“Seberapa efektif upaya ini sampai di sasarannya perlu dilakukan monitoring dan evaluasi," katanya.

Wakil Sekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung mengatakan, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Kemendikbud terkait pandemi Covid-19, sedikit banyak, telah memberikan bantuan agar pelaksanaan PJJ dapat lebih baik.

Akan tetapi, masih tidak ada perbaikan yang berarti dalam pelaksanaan PJJ pada fase II, Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2020-2021.

Baca Juga: Ibadah Umrah Akhirnya dibuka Pemerintah ditengah pandemi covid-19, berikut Ketentuannya

Fahriza menambahkan,FSGI menemukan persoalan-persoalan yang timbul pada pelaksanaan PJJ fase I masih juga muncul pada pelaksanaan PJJ fase II.

Permasalahan yang timbul pada pelaksanaan PJJ fase II di antaranya adalah aturan Kemendikbud yang tidak ditaati Dinas dan Sekolah,  masih menggunakan kurikulum normal, tugas menumpuk, kompetensi orang tua rendah, bongkar pasang model PJJ, model PJJ
disamaratakan, PJJ membosankan sehingga siswa stress, supervisi Dinas tidak maksimal, minim kepemilikan gawai dan sekolah tidak memiliki pedoman PJJ.***

 

Artikel ini pernah tayang di pikiran-rakyat.com dengan judul https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01897655/bimbingan-konseling-penting-atasi-siswa-stres-akibat-covid-19

 

Penulis : Yusuf wijanarko (pikiran-rakyat.com)

Editor: Abdul Hapid Badrudin

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x