Karya Sastra, Sebuah Realitas Sosial Yang disampaikan dengan Cara berbeda

13 November 2020, 16:03 WIB
Ilustrasi membaca buku. /PEXELS/Rahul Shah

 

UTARA TIMES- Karya sastra mengadopsi peristiwa-peristiwa dari realitas sosial untuk direkonstruksi menjadi sebuah cerita fiktif.

Pengarang membumbuinya dengan hasil daya imajinasi agar pembaca lebih meresapi dan belajar dari kisah-kisah yang mungkin belum ia alami sebelumnya.

Namun itu saja tidak cukup, karena suatu karya memerlukan media untuk menyampaikan maksud-maksud sang pengarang itu. Apa lagi kalau bukan bahasa.

Baca Juga: Pemerintah Minta Jangan Sampai Ada PHK di Industri Otomotif

Baca Juga: Hakikat Pendidikan Bagi Pelajar Dan Bagaimana Dengan Subtansi Pendidikan Kini

Wellek dan Warren (2014: 10) mengatakan bahwa salah satu yang paling khas dalam sastra adalah gaya bahasanya. Bahasa sastra dan bahasa ilmiah tentunya berbeda.

Jika bahasa ilmiah mengacu pada makna kalimat yang bersifat denotatif, maka bahasa sastra justru mengacu pada makna konotatif. Bahasa ilmiah juga bersifat konvensional dan fakutual, artinya memang sudah menjadi kesepakatan dan tak bisa diubah-ubah lagi serta nyata dalam kehidupan.

Bahasa adalah media yang tak bisa tidak, harus diperhitungkan betul penggunannya dalam sebuah karya. Bahasa sangat menentukan mutu sastra.

Baca Juga: Misi Mendalam Zionisme, Diaspora Gerakan Politik Merebut Palestina sebagai Tanah Air

Baca Juga: Musim Hujan, Siap-Siap Beberapa penyakit Ini Menyerang, Obati Dengan Cara Herbal

Selain itu, juga akan berdampak pada kualitas bahasa itu sendiri di tengah-tengah masyarakat pembaca. Suatu karya bisa menjadi sarana indoktrinasi, dengan sadar atau tidak.

Masyarakat yang terbiasa membaca sastra dengan bahasa yang asal-asalan, misalnya, akan meniru bahasa itu di kehidupan sehari-harinya dan menjelma menjadi suatu konvensi bahasa yang baru. Ini pernah menjadi persoalan di zaman dulu, ketika bahasa Melayu sebagai embrio bahasa Indonesia, pemakaiannya dalam karya sastra dianggap enteng.

Baca Juga: Harga Emas Per 13 November 2020, Antam Dua Gram Rp1.968.000 di Pegadaian

Baca Juga: Pengembangan Labuan Bajo Dari CHSE Kedepan Menuju Wisata Berbasis Teknologi Digital

Kata Ajip Rosidi (2013: 14-15), sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatera,Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih.

Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi melainkan bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar.

Lebih lanjut Wellek dan Warren juga memaparkan mengenai sifat sastra, yakni :

Baca Juga: 5 Cara Ini Ampuh Mengusir tikus, apa saja?

1. Estetis

2. Fiktif, dan

3. Imajinatif.

Karya sastra memang tidak jauh dari ketiga hal ini. Pertama estetis, dengan sifat inilah sastra mampu membedakan dirinya dengan bidang kajian yang lain. Kedua fiktif atau rekaan, artinya karya sastra tidak faktual.

Baca Juga: Jabar Gandeg Dian Sastro Jadi Duta Patriot Desa

Walaupun mengadopsi realitas sosial, tidak membuat karya sastra berarti menjiplak kisah nyata secara total. Ada bumbu-bumbu dari pengarang agar kisahnya semakin kaya akan pelajaran-pelajaran hidup. Lalu yang ketiga adalah imajinasi.

Bumbu-bumbu yang dimaksud tadi datangnya dari sifat yang ketiga ini. Adapun imajinasi tidak selamanya ada dalam karya sastra, karena ternyata ada salah satu karya yaitu puisi yang bersifat pernyataan atau disebut dengan “puisi pernyataan”.***

Editor: Anas Bukhori

Sumber: Berbagai sumber

Tags

Terkini

Terpopuler